Jakarta, studyinca.ac.id – Anak laki-laki bernama Dika, usia 9 tahun, berdiri dari kursinya. Tangan kirinya menggambar di atas meja, kaki kanannya goyang tak berhenti. Saat gurunya meminta diam dan menyimak pelajaran IPA, dia malah melempar pertanyaan yang… nyambung, tapi tiba-tiba dan cepat sekali. Di balik “gangguan” itu, Dika bisa menjelaskan dengan detail bagaimana air berubah bentuk dari padat ke cair.
Banyak orang menyebutnya anak yang susah diam, susah fokus, Belajar Hiperaktif. Tapi apakah betul itu sebuah “masalah”? Atau jangan-jangan kita saja yang belum cukup mengerti cara ia belajar?
Dalam artikel ini, saya akan mengajak kamu menyelami apa itu belajar hiperaktif—bukan dari sudut pandang medis kaku semata, tapi dari sisi humanistik, pendidikan, dan realita di lapangan. Bagi orang tua, guru, atau bahkan kamu sendiri yang merasa “otaknya lari lebih cepat dari tubuh”, artikel ini akan jadi ruang napas dan refleksi.
Apa Itu Belajar Hiperaktif? Memahami Pola yang Sering Disalahpahami

Hiperaktif bukan berarti bodoh. Juga bukan berarti rusuh.
Seseorang yang belajar secara hiperaktif justru bisa memiliki kemampuan analisis dan kreativitas tinggi—tapi cara mereka menyerap informasi tidak linier dan tidak statis.
Ciri-ciri Belajar Hiperaktif:
-
Tidak bisa duduk diam terlalu lama (tapi tetap menyimak!)
-
Mudah terdistraksi, tapi bisa sangat fokus saat tertarik
-
Banyak gerakan tubuh saat berpikir: goyang kaki, corat-coret, main pensil
-
Suka menjawab cepat, kadang belum ditanya
-
Belajar lebih baik sambil bergerak, bukan duduk tenang
Beda dengan ADHD?
Ya. Hiperaktif tidak selalu = ADHD. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah diagnosis klinis. Tapi banyak anak dan remaja (bahkan dewasa) tanpa ADHD yang tetap menunjukkan gaya belajar hiperaktif.
Anekdot nyata:
Saya pernah berbincang dengan dosen psikologi perkembangan. Ia berkata, “Kadang anak hiperaktif bisa mengingat detail pelajaran lebih cepat dari teman yang diam—asal cara belajarnya dibebaskan bergerak.”
Kenapa Gaya Belajar Hiperaktif Bisa Muncul? Faktor Otak hingga Lingkungan
Setiap otak bekerja berbeda.
Ada otak yang suka sistematis, ada yang asosiasinya liar. Gaya belajar hiperaktif sering muncul dari dominasi otak kanan, yang lebih intuitif, visual, dan impulsif.
Faktor Penyebab Gaya Belajar Hiperaktif:
a. Faktor Neurologis
-
Otak hiperaktif memiliki aktivitas korteks prefrontal yang berbeda dari rata-rata.
-
Produksi dopamin dan norepinefrin bisa fluktuatif—menyebabkan kebutuhan gerak untuk mengatur fokus.
b. Lingkungan Belajar yang Terlalu Kaku
-
Meja statis, duduk diam, harus menyimak—semua ini seperti “neraka kecil” bagi anak dengan kebutuhan gerak tinggi.
-
Ruang kelas yang tidak fleksibel bisa menekan potensi anak ini.
c. Pola Asuh dan Interaksi Harian
-
Anak yang sering dilarang eksplorasi saat kecil, bisa melampiaskan energi dengan cara “susah dikontrol” di sekolah.
d. Paparan Gadget dan Multitasking
-
Anak yang terlalu sering terpapar layar bergerak cepat (game, video pendek) bisa punya rentang perhatian lebih pendek di konteks belajar tradisional.
Strategi Efektif untuk Mengelola Belajar Hiperaktif di Rumah dan Sekolah
Jadi apa solusinya? Apakah anak belajar hiperaktif harus dipaksa tenang? Tentu tidak. Kuncinya ada pada pendekatan belajar yang adaptif dan empatik.
Strategi untuk Orang Tua dan Guru:
a. Berikan Ruang Gerak
-
Izinkan berdiri sesekali saat belajar.
-
Gunakan metode belajar sambil bergerak: board game, lompat sambil menjawab, eksplorasi fisik.
b. Gunakan Media Visual dan Taktik Sensorik
-
Flash card, puzzle, warna, dan benda nyata jauh lebih efektif daripada teks panjang.
-
Tangan sibuk = otak aktif (misalnya: squishy saat membaca).
c. Atur Sesi Belajar Singkat tapi Sering
-
Bukan 1 jam nonstop, tapi 15–20 menit dengan jeda.
-
Gunakan teknik pomodoro versi anak-anak: belajar 20 menit, rehat 5 menit aktif.
d. Dengarkan dan Validasi Energinya
-
Jangan langsung bilang “Kamu nakal!”
Coba ubah jadi: “Kamu mau gerak dulu sebentar sebelum lanjut?”
e. Buat Jadwal Fleksibel, Bukan Kaku
-
Struktur itu penting, tapi beri celah untuk penyesuaian.
-
Anak hiperaktif biasanya suka kejutan kecil (misal: “Kalau selesai cepat, kita main tebak gambar ya”).
Studi Kasus: Anak Belajar Hiperaktif yang Justru Unggul
Mari kita tengok satu studi kecil yang dilakukan oleh tim riset pendidikan di Yogyakarta. Seorang anak bernama Rey, usia 11 tahun, selalu mendapat catatan buruk dari gurunya: “Terlalu aktif, suka berdiri di kelas, sulit konsentrasi.”
Orang tuanya lalu mengubah pendekatan:
-
Belajar di rumah pakai lego untuk belajar matematika
-
Hafalan IPA lewat gerakan tangan dan lagu
-
Saat mengerjakan tugas, Rey boleh sambil jalan-jalan kecil di halaman
Hasilnya? Dalam 3 bulan, Rey justru jadi yang paling cepat menyelesaikan tugas kelas. Nilainya naik, dan yang lebih penting—percaya dirinya pulih.
Poinnya? Anak belajar hiperaktif tidak perlu “diperbaiki”. Yang perlu diubah adalah cara sistem menyentuhnya.
Refleksi: Saat Dunia Butuh Orang Kreatif, Kenapa Kita Menyeragamkan?
Ini bagian yang sedikit kontemplatif.
Di zaman yang serba disruptif, kita butuh lebih banyak pemikir liar, pemecah pola, dan pelompat ide. Tapi ironisnya, sistem pendidikan kita justru masih terlalu suka pada yang diam, duduk, patuh, dan tenang.
Anak belajar hiperaktif bukan musuh. Mereka calon inovator.
Einstein dulu dikeluarkan dari sekolah karena tidak bisa diam.
Steve Jobs tidak tahan duduk di kelas kuliah yang terlalu normatif.
Bahkan Leonardo da Vinci punya catatan sejarah sebagai “restless sketcher”—tak bisa diam tapi penuh ide.
Jadi, sebelum kita memberi label “nakal” pada anak hiperaktif, mungkin kita perlu tanya: sistemnya yang salah, atau cara kita melihatnya yang sempit?
Penutup: Belajar Hiperaktif Adalah Gaya, Bukan Gangguan
Jika kamu seorang guru, orang tua, atau mahasiswa pendidikan yang sedang magang, ingatlah: anak yang tidak bisa duduk diam, bukan berarti tidak belajar.
Mereka belajar—tapi dengan ritme sendiri. Dan tugas kita bukan memaksa mereka masuk kotak, tapi memperluas kotaknya, hingga cukup luas untuk semua gaya belajar.
Karena dalam dunia nyata, bukan hanya nilai rapor yang menentukan masa depan—tapi juga kreativitas, ketahanan, dan kemampuan untuk belajar secara unik.
Baca Juga Artikel dari: Whiting Awards: Supporting Emerging Writers on Their Wildest Literary Journeys
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan

