SKS Terbaru

Sistem SKS Terbaru: Bagaimana Dampaknya bagi Mahasiswa?

Jakarta, studyinca.ac.id – Satu sore di kantin kampus, saya duduk bersama seorang mahasiswa baru yang kelihatan agak linglung. Namanya Bagas. Dia baru saja keluar dari ruang BAAK sambil memegang lembar KRS. “Kak, SKS Terbaru itu bedanya sama SKM apa ya?” tanyanya polos.

Pertanyaan sederhana—tapi sebenarnya mewakili kebingungan banyak mahasiswa.

SKS alias Satuan Kredit Semester adalah sistem pengukuran beban belajar di perguruan tinggi. Setiap mata kuliah punya bobot SKS tertentu, biasanya antara 2 sampai 4 SKS, tergantung dari jumlah pertemuan, teori, dan praktik. Satu SKS setara dengan sekitar 50 menit kuliah tatap muka setiap minggu selama satu semester.

Dulu, mahasiswa hanya perlu mengejar jumlah SKS untuk lulus, biasanya sekitar 144 SKS dalam 4 tahun. Tapi kini, sistem itu mulai berubah. Bukan hanya dari sisi jumlah, tapi juga cara mahasiswa menjalani dan memilih bentuk pembelajaran.

Masuklah kita ke dalam era SKS terbaru, yang sering dikaitkan dengan kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) dari Kemendikbudristek. Bukan sekadar perubahan angka, tapi perubahan filosofi pendidikan.

SKS Terbaru dan Lahirnya Konsep Merdeka Belajar

SKS Terbaru

Bermula dari pidato Mendikbud Nadiem Makarim beberapa tahun lalu, konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka mulai digaungkan. Intinya: pendidikan tinggi tidak boleh hanya berkutat di dalam kelas. Mahasiswa harus punya ruang untuk belajar dari dunia nyata—industri, masyarakat, bahkan startup.

Inilah yang membuat struktur SKS ikut berubah. SKS tidak lagi hanya tentang ruang kelas dan presentasi PowerPoint. Kini, proyek sosial, magang, pertukaran pelajar, penelitian, hingga wirausaha juga bisa diakui sebagai bagian dari SKS.

Beberapa poin penting dari perubahan SKS terbaru:

  1. Mahasiswa bisa mengambil hingga 3 semester di luar program studi.
    Ini artinya kamu bisa belajar lintas jurusan, bahkan lintas kampus, dan itu tetap diakui secara akademik.

  2. Kegiatan non-kuliah bisa diakui sebagai SKS.
    Misalnya kamu magang 6 bulan di startup, atau mengajar di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), pengalaman itu bisa dikonversi jadi SKS formal.

  3. Satu SKS kini punya dimensi yang lebih luas.
    Bukan cuma duduk di kelas, tapi bisa setara dengan 170 menit kegiatan belajar mandiri, atau sekitar 2 jam kerja praktik setiap minggu.

  4. Penyesuaian KRS menjadi lebih fleksibel.
    Mahasiswa bisa menyusun rencana studi berdasarkan proyek hidupnya, bukan hanya jadwal dosen.

Kampus yang sudah menerapkan sistem ini mulai terlihat lebih dinamis. Tapi di sisi lain, transisi ini juga membuat banyak mahasiswa dan dosen merasa “kehilangan pegangan” karena perubahan yang cukup drastis.

Perubahan Ini Datang dengan Tantangan, Tapi Juga Banyak Peluang

Bayangkan kamu mahasiswa semester lima. Biasanya, kamu akan mengisi KRS dengan mata kuliah seperti Ekonomi Mikro Lanjutan, Statistika, dan Metodologi Penelitian. Tapi sekarang, kamu bisa memilih untuk mengikuti magang 6 bulan di perusahaan multinasional, mengembangkan desa wisata digital, atau ikut program riset kolaboratif internasional.

Dan yang mengejutkan? Semua itu bisa dikonversi ke dalam 20 SKS atau lebih. Artinya, kamu tidak perlu “berhenti kuliah” demi pengalaman lapangan.

Namun tentu, perubahan ini tidak datang tanpa tantangan:

  • Belum semua kampus siap secara infrastruktur dan kurikulum. Banyak kampus masih “kaget” dalam menyusun modul dan mekanisme konversi nilai dari pengalaman luar kampus.

  • Mahasiswa butuh bimbingan lebih intensif. Karena sistem ini menuntut inisiatif tinggi, mahasiswa yang pasif akan tertinggal.

  • Perlu sinkronisasi antara kampus dan mitra luar (industri, NGO, dll). Tidak semua instansi luar kampus memahami cara menilai kinerja mahasiswa sesuai standar akademik.

Namun, jika dijalankan dengan tepat, sistem ini bisa menciptakan lulusan yang tidak hanya cerdas akademis, tapi juga siap kerja dan relevan dengan dunia nyata.

Bagaimana Cara Mahasiswa Beradaptasi dengan SKS Model Baru Ini?

Pertanyaan yang sering muncul adalah: “Lalu, saya harus bagaimana?” Tenang. Berikut beberapa langkah nyata agar mahasiswa bisa mengoptimalkan sistem SKS terbaru ini:

1. Kenali Pilihan Aktivitas MBKM di Kampusmu

Tiap kampus punya program berbeda. Beberapa membuka magang industri, lainnya punya kelas kolaborasi internasional. Tanyakan ke bagian akademik atau PIC MBKM kampusmu.

2. Susun Rencana Studi Berdasarkan Tujuan Karier

Misalnya kamu ingin jadi peneliti—ambil program riset kolaboratif. Kalau mau jadi praktisi, fokus ke magang dan proyek sosial.

3. Kembangkan Portofolio Seiring Aktivitas SKS

Dokumentasikan semua kegiatan, proyek, dan pengalamanmu. Ini akan sangat berguna saat melamar kerja.

4. Bangun Relasi dengan Dosen Pembimbing dan Mitra

Kamu akan butuh banyak arahan dan rekomendasi, terutama saat menyusun laporan atau proposal program luar kampus.

5. Berani Gagal, Tapi Jangan Diam

Sistem ini memberi ruang untuk eksplorasi. Kalau satu program tak sesuai ekspektasi, kamu masih bisa balik arah di semester berikutnya.

Saya pernah mewawancarai Gina, mahasiswi pertanian yang ikut program magang di perusahaan pangan global. Ia mengaku awalnya ragu, tapi kini justru direkrut sebelum wisuda. “Kalau bukan karena sistem SKS baru, mungkin aku nggak akan kenal dunia kerja secepat ini,” katanya.

Masa Depan SKS dan Pendidikan Tinggi Indonesia—Lebih Merdeka, Lebih Relevan

Transformasi SKS ini adalah bagian dari upaya besar merombak pendidikan tinggi Indonesia agar lebih adaptif dengan zaman. Tantangan ke depan bukan hanya mencetak sarjana, tapi mencetak talenta masa depan yang luwes, kolaboratif, dan mampu memecahkan masalah nyata.

Beberapa prediksi tentang masa depan SKS:

  • Integrasi lintas disiplin makin kuat. Mahasiswa teknik bisa ambil kelas desain atau psikologi. Dunia kerja memang membutuhkan kombinasi skill.

  • Digitalisasi dan e-learning akan masuk ke dalam perhitungan SKS. Kursus online, pelatihan mandiri, hingga bootcamp bisa dikonversi jadi kredit resmi.

  • Skema micro-credential dan modular learning makin populer. Alih-alih gelar panjang, mahasiswa bisa mengumpulkan sertifikat kompetensi dalam bentuk “blok SKS” modular.

  • Kampus akan jadi pusat konektor, bukan sekadar ruang kelas. Kampus jadi mediator antara mahasiswa, dunia industri, masyarakat, dan platform digital.

Meski tidak sempurna, perubahan SKS ini adalah upaya penting dalam menghapus jarak antara pendidikan dan kenyataan. Ya, pasti ada yang tersandung, ada yang bingung, bahkan frustrasi. Tapi jika mahasiswa, dosen, dan kampus mau belajar bersama, hasilnya bisa luar biasa.

Penutup: SKS Terbaru Bukan Beban, Tapi Kesempatan

Dulu, mahasiswa sibuk mengejar SKS seolah-olah itu angka keberhasilan. Tapi kini, SKS bukan sekadar angka. Ia adalah ruang untuk eksplorasi. Ruang untuk gagal dan belajar. Ruang untuk menemukan jati diri dan karier.

Program ini mengajak kita keluar dari ruang kelas dan masuk ke realitas. Bukan untuk menggantikan teori, tapi menyempurnakannya.

Jadi, kalau kamu sedang kuliah, jangan cuma hitung berapa SKS yang harus diambil. Tanyakan juga: berapa banyak pengalaman yang bisa kamu kumpulkan dari setiap SKS itu?

Karena di masa depan, nilai ijazah bukan hanya soal angka… tapi juga soal cerita di balik angka itu.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan

Baca Juga Artikel dari: Class Size: Balancing Personalized Learning and School Resources

Author

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *