Parameter Gempa

Parameter Gempa: Kunci Memahami Guncangan Alam

Jakarta, studyinca.ac.id – Dalam hitungan detik, tanah bisa bergetar hebat. Gedung tinggi bergoyang, kaca pecah, orang-orang panik keluar dari rumah. Namun begitu gempa selesai, semua mata langsung tertuju ke satu sumber: informasi dari BMKG. “Gempa magnitudo 6,5… kedalaman 10 km… tidak berpotensi tsunami.” Tapi, apa sebenarnya arti angka-angka ini?

Di balik setiap laporan gempa, tersembunyi sejumlah istilah teknis yang disebut sebagai parameter gempa. Inilah indikator yang digunakan para ahli seismologi untuk mengukur, menganalisis, dan memetakan dampak dari suatu kejadian gempa bumi.

Tanpa pemahaman terhadap parameter ini, masyarakat akan sulit membaca seberapa bahaya situasi yang sedang mereka hadapi. Pemerintah pun tidak bisa mengambil keputusan tanggap darurat secara akurat.

Sama seperti dokter membutuhkan tekanan darah dan kadar oksigen untuk mendiagnosis pasien, ilmuwan dan aparat penanggulangan bencana memerlukan parameter gempa untuk merespons secara tepat.

Bukan hanya soal magnitudo. Ada banyak variabel lain seperti kedalaman, episentrum, waktu, arah patahan, hingga intensitas di permukaan yang mempengaruhi bagaimana sebuah gempa terasa di suatu wilayah.

Dan menariknya, perkembangan teknologi telah memungkinkan kita mengetahui semua ini dalam hitungan menit, berkat sistem monitoring seismik yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Mengenal Parameter Dasar Gempa—Magnitudo, Kedalaman, dan Episentrum

Parameter Gempa

Ketika sebuah gempa dilaporkan, biasanya tiga parameter utama langsung disebutkan: magnitudo, kedalaman, dan lokasi episentrum. Mari kita bahas satu per satu.

1. Magnitudo (Magnitude)

Magnitudo mengukur besar energi yang dilepaskan oleh sumber gempa di bawah permukaan bumi. Ada beberapa jenis skala magnitudo, tapi yang paling umum digunakan saat ini adalah Magnitudo Moment (Mw).

Semakin besar magnitudo, semakin besar energi yang dilepaskan. Misalnya:

  • Gempa magnitudo 5,0 bisa dirasakan tapi jarang menimbulkan kerusakan besar.

  • Gempa 6,0–6,9 mulai berisiko pada bangunan tak tahan gempa.

  • Gempa di atas 7,0 umumnya bisa menimbulkan kerusakan luas, apalagi jika dangkal dan dekat permukiman.

Yang menarik, setiap peningkatan 1 angka dalam skala magnitudo berarti kira-kira 32 kali lebih besar energinya. Jadi gempa 6,0 itu 32 kali lebih kuat dari gempa 5,0—bukan cuma “satu tingkat” lebih besar.

2. Kedalaman (Depth)

Ini menunjukkan seberapa dalam gempa terjadi dari permukaan tanah. Gempa dikelompokkan berdasarkan kedalamannya:

  • Dangkal: < 60 km

  • Menengah: 60–300 km

  • Dalam: > 300 km

Gempa dangkal cenderung lebih berbahaya karena getarannya langsung merambat ke permukaan. Sebaliknya, gempa dalam seperti di Laut Banda atau Papua, meskipun besar, seringkali tidak terlalu terasa karena energi terserap oleh lapisan bumi.

3. Episentrum

Episentrum adalah titik di permukaan bumi tepat di atas pusat gempa (hiposenter). Informasi koordinat (lintang-bujur) dari episentrum sangat penting untuk menentukan daerah mana yang paling terdampak.

Sebagai contoh, gempa magnitudo 6,2 yang terjadi di Mamuju pada 2021 punya kedalaman sekitar 10 km. Karena dangkal dan dekat pusat kota, dampaknya sangat merusak.

Parameter Tambahan—Intensitas, Durasi, dan Mekanisme Sumber

Selain tiga parameter utama, ada beberapa indikator lain yang juga penting untuk memahami karakteristik suatu gempa.

1. Intensitas Guncangan

Berbeda dengan magnitudo yang sifatnya objektif dan sama untuk semua wilayah, intensitas mengukur kuat lemahnya getaran yang dirasakan di suatu lokasi tertentu. BMKG menggunakan Skala MMI (Modified Mercalli Intensity) untuk melaporkan hal ini.

Contoh:

  • MMI II: getaran ringan, hanya dirasakan di lantai atas gedung

  • MMI IV: banyak orang terbangun, benda ringan bergoyang

  • MMI VI: dinding retak, jendela pecah

  • MMI VIII: banyak bangunan roboh

Karena tanah di setiap tempat berbeda sifatnya (padat, lunak, berair), maka intensitas bisa berbeda meski jaraknya sama dari pusat gempa.

2. Durasi Guncangan

Lama waktu gempa dirasakan sangat memengaruhi persepsi dan dampak psikologis. Gempa yang berlangsung 5–10 detik mungkin tidak terlalu mengganggu. Tapi jika berlangsung lebih dari 30 detik, masyarakat bisa panik, dan bangunan punya waktu lebih lama untuk mengalami resonansi dan kerusakan struktural.

Durasi ini dipengaruhi oleh panjang patahan, kedalaman, dan jenis tanah di permukaan.

3. Mekanisme Sumber (Focal Mechanism)

Ini adalah informasi tentang arah dan jenis pergerakan patahan yang menyebabkan gempa. Ada tiga jenis utama:

  • Strike-slip (geser horizontal, misalnya Patahan Sesar Sumatra)

  • Normal fault (tarikan vertikal, kerak bumi tertarik)

  • Reverse fault/thrust (tekanan vertikal, kerak saling menekan)

Mekanisme ini membantu memprediksi risiko susulan dan potensi tsunami. Gempa dengan gerakan vertikal pada dasar laut misalnya, berisiko menyebabkan gelombang laut besar.

Bagaimana Data Parameter Gempa Dikumpulkan?

Semua informasi yang kita terima soal gempa bukan datang dari satu alat saja, tapi dari jaringan seismograf yang tersebar di berbagai wilayah. Di Indonesia, BMKG mengelola lebih dari 400 sensor seismik yang aktif 24 jam.

Sistem Monitoring Seismik

Begitu terjadi guncangan, gelombang seismik langsung terekam oleh alat-alat ini. Sistem akan otomatis menghitung waktu tiba gelombang P (primer) dan S (sekunder) untuk menentukan lokasi hiposenter dan magnitudo awal.

Dalam hitungan menit, pusat data BMKG akan mengeluarkan laporan awal. Data ini kemudian dikaji ulang oleh analis seismologi, dan jika perlu, dilakukan revisi data berdasarkan rekaman lanjutan.

Selain BMKG, ada juga lembaga internasional seperti USGS dan GFZ Jerman yang ikut memantau aktivitas gempa di Indonesia. Mereka sering mempublikasikan data pelengkap, seperti model tsunami, pemetaan kerusakan, atau animasi seismik.

Teknologi Satelit dan GPS

Untuk gempa besar, para peneliti juga memanfaatkan data satelit dan sistem GPS untuk mengukur pergeseran permukaan tanah. Hal ini berguna untuk menilai deformasi kerak bumi dan potensi gempa susulan.

Misalnya, setelah gempa Palu 2018, citra satelit menunjukkan tanah bergeser lebih dari 3 meter hanya dalam beberapa detik.

Literasi Parameter Gempa untuk Masyarakat dan Tanggap Bencana

Satu hal penting dari semua ini: parameter gempa bukan hanya untuk ilmuwan. Masyarakat juga perlu memahaminya agar bisa mengambil keputusan secara cepat dan tepat saat bencana terjadi.

1. Mengenali Risiko Berdasarkan Parameter

Jika BMKG menyebut gempa magnitudo 7,0 dengan kedalaman 10 km di lepas pantai, dan episentrum dekat pemukiman padat, masyarakat harus sadar bahwa potensi kerusakannya tinggi—meskipun belum ada data visual.

Sebaliknya, gempa 6,8 di kedalaman 500 km bisa terasa luas tapi tidak perlu terlalu panik karena risikonya jauh lebih rendah.

2. Menghindari Disinformasi

Sering kali beredar info palsu tentang potensi gempa susulan yang “lebih besar” tanpa dasar ilmiah. Dengan memahami parameter dasar, masyarakat bisa lebih bijak menilai apakah informasi itu valid atau tidak.

3. Tanggap Darurat Berdasarkan Intensitas

Banyak orang panik ketika merasakan getaran meski tidak signifikan. Jika masyarakat terbiasa membaca skala MMI dan tahu perbedaan antara MMI III dan MMI VI, maka respon darurat bisa lebih terukur dan tidak menimbulkan kepanikan massal.

BMKG juga kini menyediakan peta intensitas berbasis laporan warga (felt report) yang makin memperkaya informasi parameter gempa secara real-time.

Penutup: Parameter Gempa Adalah Bahasa Ilmiah yang Menyelamatkan

Di tengah dunia yang penuh guncangan—secara harfiah maupun metaforis—memahami parameter gempa memberi kita alat untuk membaca tanda-tanda bumi. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan informasi vital yang bisa menyelamatkan nyawa.

Seiring peningkatan teknologi dan literasi bencana, kita diharapkan bukan hanya jadi penerima info, tapi juga pengolah makna. Karena gempa akan terus datang. Yang bisa kita lakukan adalah terus belajar membaca pesannya dengan lebih cerdas dan tanggap.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan

Baca Juga Artikel dari: Gerak Lurus Beraturan: Cara Jago Fisika Tanpa Ribet

Author

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *