Jakarta, studyinca.ac.id – Bayangkan pagi yang mendung di kampus. Seorang mahasiswa baru, sebut saja Raka, berdiri di depan ruang kuliah besar dengan keringat dingin mengalir. Hari itu presentasi pertamanya. Perutnya mual, tangan gemetar, dan suara hatinya ramai. Apa itu? Jawabannya: emosi.
Dalam keseharian mahasiswa, emosi bukan cuma soal senang dan sedih. Ia adalah sinyal tubuh, semacam kompas batin yang mengarahkan perilaku kita di tengah tekanan akademik, sosial, dan eksistensial. Dari grogi saat sidang skripsi, galau habis debat BEM, sampai puas saat nilai A muncul di SIAKAD—semua itu contoh bagaimana emosi bekerja dalam ruang hidup mahasiswa.
Fungsi emosi dalam psikologi modern didefinisikan sebagai sistem internal yang membantu manusia mengenali, menilai, dan merespons situasi secara adaptif. Bagi mahasiswa, peran ini menjadi lebih krusial karena fase kuliah adalah masa transisi penuh tekanan: dari remaja menjadi dewasa muda, dari hidup “ikut aturan rumah” ke gaya hidup mandiri.
Penelitian dari Universitas Indonesia (Fakultas Psikologi, 2023) menyebutkan bahwa emosi memengaruhi hingga 75% pengambilan keputusan penting mahasiswa—baik yang berkaitan dengan studi, relasi, maupun masa depan. Artinya, mengabaikan emosi sama saja seperti mengabaikan peta saat berkendara di kota asing.
Lebih dari itu, emosi juga menjadi dasar pembentukan identitas. Mahasiswa yang belajar memahami dan mengelola emosinya cenderung lebih stabil, produktif, dan punya kepemimpinan sosial yang baik. Sebaliknya, mereka yang menekan atau memendam emosi, sering mengalami burnout, konflik, bahkan gangguan psikis ringan.
Emosi Sebagai Navigasi Akademik — Kenapa Mahasiswa Gagal atau Berhasil?

Satu hal yang jarang diajarkan di kelas: bagaimana menghadapi kegagalan secara emosional. Kita tahu cara mengerjakan soal integral atau menulis kutipan APA style, tapi bagaimana cara berdamai dengan nilai C yang menyakitkan? Atau gagal daftar pertukaran pelajar?
Itulah fungsi emosi dalam performa akademik: sebagai pengarah dan pengolah respons ketika ekspektasi bertabrakan dengan kenyataan. Contohnya, mahasiswa bernama Nadya yang gagal dalam mata kuliah favoritnya. Ia merasa kecewa, bahkan sempat ingin berhenti kuliah. Tapi setelah beberapa sesi refleksi bersama mentor kampus, ia menyadari bahwa rasa kecewa itu bukan musuh, melainkan “data emosional” yang bisa dimaknai.
Rasa kecewa mendorong Nadya untuk mengubah cara belajarnya, mengatur ulang rutinitas, bahkan mencari bantuan akademik. Di semester berikutnya, ia lulus dengan nilai memuaskan. Cerita ini sederhana, tapi mengandung pelajaran mendalam tentang bagaimana emosi, jika dikenali dan diproses dengan baik, bisa menjadi kunci perbaikan.
Menurut jurnal Psikologi Terapan dari UGM (2022), mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi—mampu mengenali dan mengatur emosinya—memiliki kemungkinan 2,5 kali lebih besar untuk menyelesaikan studi tepat waktu dibandingkan yang tidak. Ini membuktikan bahwa fungsi emosi dalam dunia akademik tidak kalah penting dibanding kemampuan kognitif.
Lebih jauh lagi, emosi juga memengaruhi motivasi belajar. Rasa tertarik, kagum, atau bahkan rasa “kepo” bisa memicu keinginan eksplorasi. Sementara rasa takut atau bosan yang dibiarkan tanpa ditangani, justru bisa membuat seseorang stuck dan kehilangan semangat.
Relasi Sosial dan Emosi — Dari Teman, Gebetan, Hingga Dosen Killer
Mahasiswa tidak hidup dalam ruang hampa. Kehidupan kampus adalah ekosistem sosial yang kompleks. Ada teman, rival, pacar, mantan pacar, ketua kelas, dan tentu saja dosen killer yang diam-diam menyukai presentasi yang bagus. Di sinilah fungsi emosi benar-benar diuji.
Ambil contoh interaksi antar teman. Seorang mahasiswa bernama Aldi merasa tidak nyaman dengan kelompok tugas yang selalu mengabaikan idenya. Ia ingin marah, tapi juga takut dianggap baper. Dalam kondisi seperti ini, memahami fungsi emosi sangat penting. Bukan untuk meledak, tapi untuk memilih reaksi yang tepat.
Ketika emosi diproses secara sadar, mahasiswa bisa belajar berkomunikasi secara asertif. Bukan melawan, tapi menyampaikan. Bukan menghindar, tapi mengatur ulang ekspektasi. Hal ini bukan cuma penting untuk tugas kuliah, tapi juga untuk kerja tim di dunia profesional nanti.
Relasi asmara juga tidak kalah pelik. Banyak mahasiswa mengalami penurunan nilai atau motivasi kuliah karena konflik dalam hubungan. Padahal, jika fungsi emosi digunakan sebagai alat refleksi, hubungan bisa jadi sarana tumbuh bersama. Menyadari kapan cemburu muncul, kapan harus bicara jujur, atau kapan harus mundur adalah bentuk kematangan emosi yang sayangnya jarang diajarkan.
Dosen killer pun tidak harus selalu jadi musuh. Seringkali, label itu muncul dari interpretasi emosional yang salah. Mahasiswa yang terbiasa refleksi biasanya lebih tahan menghadapi karakter dosen yang keras. Mereka bisa membedakan antara kritik yang membangun dan serangan personal.
Di sinilah pentingnya membangun budaya kampus yang sadar emosi—bukan kampus yang kaku dan penuh basa-basi, tapi tempat di mana mahasiswa bisa belajar tentang empati, batasan, dan komunikasi sehat.
Fungsi Emosi dalam Kesehatan Mental Mahasiswa
Tahun-tahun kuliah bisa jadi masa paling rawan secara psikologis. Berdasarkan laporan dari Kemenkes (2024), 1 dari 3 mahasiswa mengalami gejala stres berat atau kecemasan selama menempuh studi, terutama setelah pandemi. Di balik tumpukan tugas dan deadline, ada gelombang emosi yang tidak terlihat.
Fungsi emosi di sini menjadi penyelamat tersembunyi. Ia bisa memberi sinyal awal sebelum krisis terjadi. Misalnya, mahasiswa yang merasa mudah tersinggung, cepat lelah, atau terus-menerus gelisah—itu bukan “baper,” tapi mungkin pertanda tubuh sedang kelelahan secara mental.
Sayangnya, banyak mahasiswa masih merasa tabu membicarakan emosi. Ungkapan seperti “cowok gak boleh nangis,” atau “anak psikologi kok stress?” menciptakan tekanan sosial untuk menutupi emosi. Padahal, menyadari dan membicarakan emosi adalah langkah awal menuju pemulihan.
Beberapa kampus kini mulai sadar akan hal ini. Fasilitas konseling kampus, ruang tenang, hingga komunitas peer support semakin banyak ditemukan. Namun, upaya ini perlu dilengkapi dengan edukasi berkelanjutan tentang literasi emosi: bagaimana mengenali, menamai, dan mengelola perasaan.
Mahasiswa juga perlu tahu bahwa emosi tidak selalu harus diatasi. Kadang cukup dengan diterima dan dipahami. Rasa sedih, misalnya, bukan tanda kelemahan, tapi respons alami terhadap kehilangan. Rasa takut bukan hal yang harus dihilangkan, tapi bisa dijadikan alarm agar lebih waspada.
Kesehatan mental bukan soal selalu bahagia, tapi soal mampu merespons perasaan dengan bijak.
Membangun Masa Depan Mahasiswa yang Peka Emosi
Di tengah laju dunia yang serba cepat dan kompetitif, mahasiswa perlu lebih dari sekadar IPK tinggi. Mereka butuh keterampilan mengenali diri, memahami orang lain, dan mengelola tekanan. Dan semua itu berakar dari fungsi emosi.
Bayangkan jika kampus mengintegrasikan pendidikan emosi ke dalam setiap program studi. Mahasiswa teknik belajar tentang manajemen stres proyek, mahasiswa hukum diajarkan negosiasi empatik, mahasiswa kedokteran dilatih berempati terhadap pasien, dan mahasiswa seni belajar mengolah emosi sebagai bahan ekspresi. Ini bukan utopia—ini kebutuhan zaman.
Beberapa kampus di Bandung dan Yogyakarta sudah mulai menerapkan kelas “emotional intelligence” sebagai mata kuliah pilihan. Bahkan, organisasi mahasiswa mulai membuka ruang diskusi tentang kegagalan, overthinking, hingga kecemasan masa depan. Semua itu mengindikasikan arah baru dunia pendidikan tinggi—yang tidak hanya mencetak lulusan pintar, tapi juga manusia utuh.
Untuk mahasiswa itu sendiri, mengenal fungsi emosi bisa dimulai dari hal sederhana: menulis jurnal harian, berbicara dengan teman dekat, atau mencari bantuan saat merasa kewalahan. Intinya, jangan abaikan suara batin yang muncul saat kita menghadapi situasi sulit. Itu bukan beban. Itu adalah petunjuk.
Di era yang serba logis ini, kemampuan mendengar dan memahami emosi justru menjadi soft skill paling langka—dan paling berharga. Karena pada akhirnya, bukan hanya ilmu yang menentukan kesuksesan seorang mahasiswa, tapi juga kepekaan dan kematangan emosinya.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan
Baca Juga Artikel Dari: Passive Voice: Cara Seru Hindari Kesalahan Writing

