Jakarta, studyinca.ac.id – Coba tanya ke mahasiswa mana pun di kampus—apa sih gunanya belajar filsafat? Sebagian akan bilang, “Bikin pusing.” Yang lain bilang, “Cuma teori.” Tapi yang menarik, semakin banyak mahasiswa mulai menyadari: filsafat bukan tentang menghafal teori, tapi tentang belajar berpikir—dan hidup—dengan sadar.
Di dalam cabang filsafat, ada satu bagian penting yang sering terabaikan tapi sangat berharga: Aksiologi Filsafat. Apa itu? Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai, baik nilai etika (benar atau salah) maupun nilai estetika (indah atau tidak).
Kalau epistemologi mengajarkan bagaimana kita mengetahui sesuatu, dan ontologi membahas apa yang nyata, maka aksiologi bertanya: “Untuk apa semua pengetahuan itu?” Apa nilai dan tujuan dari apa yang kita pelajari? Seberapa penting ilmu pengetahuan digunakan dengan etika? Apa gunanya teknologi, kalau tak memberi manfaat untuk sesama?
Anekdot fiktif: Bayu, mahasiswa teknik elektro, pernah kena sentilan dari dosen filsafat karena menyatakan teknologi cukup diukur dari efisiensinya. Sang dosen balas, “Kalau kamu bisa bikin robot pembunuh yang efisien, apakah itu berarti baik?” Sejak itu, Bayu selalu menyisipkan refleksi etika dalam semua proposal tugasnya.
Ruang Lingkup Aksiologi – Antara Etika, Estetika, dan Nilai Ilmu

Aksiologi tidak sekadar membahas “apa yang baik” secara moral. Ia menyelami lebih dalam, menjelajahi nilai-nilai yang menyatu dalam ilmu pengetahuan, seni, dan kehidupan. Secara garis besar, ruang lingkup aksiologi terbagi menjadi tiga:
1. Nilai Etika
Ini berkaitan dengan pertanyaan: Apa yang seharusnya dilakukan? atau Apakah ini tindakan yang benar?
Dalam konteks mahasiswa:
-
Apakah boleh mencontek kalau sistem ujiannya tidak adil?
-
Haruskah kita mengkritik dosen kalau tahu ia salah di depan umum?
-
Apa tanggung jawab sosial mahasiswa terhadap isu-isu masyarakat?
Etika tidak selalu hitam-putih. Aksiologi membantu kita berpikir dari berbagai sudut, dengan mempertimbangkan akibat dan nilai yang mendasari tindakan.
2. Nilai Estetika
Berhubungan dengan keindahan dan ekspresi. Ini bukan hanya soal seni, tapi juga soal cara berpikir kreatif.
Contohnya:
-
Apakah esai yang ringkas tapi penuh makna lebih “indah” dari yang panjang tapi bertele-tele?
-
Apa pentingnya desain presentasi yang rapi, bahkan untuk mata kuliah teknis?
Aksiologi menempatkan estetika sebagai bagian dari bagaimana kita menyampaikan nilai dalam bentuk yang menyentuh dan bermakna.
3. Nilai Kegunaan Ilmu
Inilah yang paling sering dibahas dalam konteks pendidikan. Aksiologi mempertanyakan: Ilmu ini digunakan untuk apa? Untuk siapa? Apakah ia mengangkat nilai kemanusiaan?
Bagi mahasiswa, ini menjadi penting agar tidak belajar hanya demi IPK, tapi demi dampak nyata.
Aksiologi dalam Kehidupan Mahasiswa – Bukan Cuma Teori di Kelas
Sering kali kita menganggap filsafat, apalagi aksiologi, hanya penting buat mahasiswa FIB atau Filsafat murni. Tapi ternyata, tanpa sadar, kita menerapkannya setiap hari—mulai dari ruang kelas, kegiatan organisasi, sampai percakapan iseng di warung kopi kampus.
1. Saat Menyusun Proposal Penelitian
Mahasiswa ditanya, “Apa urgensi penelitian ini?”—di sinilah aksiologi masuk. Apakah penelitianmu hanya demi nilai, atau ada kontribusi ke masyarakat? Apakah metodologinya memanusiakan subjek, atau sekadar mengejar angka?
2. Dalam Kegiatan Organisasi atau BEM
Kamu merancang program kerja sosial ke desa. Aksiologi akan menuntunmu berpikir, “Apakah program ini benar-benar memberdayakan, atau hanya demi dokumentasi instastory?”
3. Saat Menghadapi Dilema Akademik
Misal, kamu tahu ada teman yang curang saat ujian. Kamu bingung: laporkan atau tidak? Aksiologi membantumu menimbang antara kejujuran, solidaritas, dan efek jangka panjangnya.
4. Dalam Dunia Magang dan Kerja Part Time
Kamu ditawari kerja freelance menulis artikel clickbait. Duitnya oke. Tapi di sisi lain, kamu tahu isi artikelnya bisa menyesatkan publik. Aksiologi hadir saat kamu memilih: apakah ini sekadar soal cuan, atau soal nilai?
Anekdot fiktif: Tika, mahasiswi komunikasi, pernah menolak proyek konten viral yang meminta framing provokatif soal isu sensitif. Kata dosen pembimbingnya, “Kamu mungkin kehilangan uang, tapi kamu tidak kehilangan arah.” Dan sejak itu, Tika mantap ingin bekerja di media edukatif, bukan sekadar infotainment.
Aksiologi dan Ilmu Pengetahuan – Ketika ‘Benar’ Tak Selalu ‘Baik’
Zaman sekarang, teknologi dan sains berkembang sangat cepat. Kita bisa bikin AI, rekayasa genetika, bahkan eksplorasi luar angkasa. Tapi aksiologi mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak selalu berarti kebaikan.
Contoh konkret:
-
Teknologi Deepfake: Secara teknis mengagumkan. Tapi jika dipakai untuk menipu publik?
-
Big Data dan Privasi: Bisa bikin layanan jadi personal, tapi juga membuka peluang pelanggaran privasi.
-
Riset Militer dan Senjata Biologis: Ilmunya benar, datanya akurat. Tapi aksionaloginya—apakah itu demi kemanusiaan?
Di sinilah peran mahasiswa sebagai agent of change diuji. Kita tidak cukup hanya jadi pengguna teknologi atau penghafal teori. Kita harus jadi pemikir kritis yang bisa bertanya: “Apakah ini berguna bagi manusia?”
Ini bukan idealisme kosong. Aksiologi filsafat adalah titik temu antara kecerdasan dan kebijaksanaan. Ia membuat ilmu tidak liar. Ia memberi arah, bukan hanya akselerasi.
Melatih Kepekaan Aksiologis – Dari Kelas ke Kehidupan
Aksiologi bukan cuma untuk dihafal saat ujian filsafat. Ia harus hidup. Dan agar bisa hidup, mahasiswa perlu membiasakan diri berpikir bernilai.
Cara melatih kepekaan aksiologis:
-
Bertanya “Untuk apa?” setiap kali belajar sesuatu.
Contoh: Kamu belajar analisis regresi. Tanyakan, “Kapan teknik ini bisa menyelamatkan keputusan publik?” -
Refleksi mingguan.
Setiap akhir minggu, coba renungkan satu tindakan atau keputusanmu: apakah itu punya nilai baik? Apa alasannya? -
Ikut diskusi lintas jurusan.
Mahasiswa teknik berdiskusi dengan mahasiswa sastra bisa menciptakan percikan pemikiran baru yang bernilai aksiologis. -
Baca berita sambil bertanya: siapa yang diuntungkan? siapa yang dirugikan?
Berita bukan sekadar fakta, tapi juga cermin nilai. -
Tulis jurnal atau opini.
Saat kamu menulis, kamu memproses nilai. Bahkan opini sederhana di media kampus bisa jadi latihan mengekspresikan nilai etis dan sosial.
Anekdot fiktif: Rendra, mahasiswa teknik sipil, pernah bilang, “Saya kira bikin jalan tol itu selalu bagus. Tapi setelah ikut kuliah aksiologi, saya mulai mikir: siapa yang digusur? Siapa yang diuntungkan? Apakah jalan itu dibutuhkan, atau hanya proyek elite?” Dan dari situlah lahir proposal tugas akhirnya tentang jalan lingkungan berkelanjutan.
Penutup:
Aksiologi filsafat bukan sekadar teori yang rumit. Ia adalah cara kita melihat ilmu, teknologi, dan hidup dengan lebih dalam. Mahasiswa yang mempelajari aksiologi bukan berarti jadi tukang filsafat yang nyebelin di tongkrongan. Justru sebaliknya—mereka jadi orang yang bisa menimbang, memilih, dan membela nilai di tengah dunia yang penuh pilihan cepat dan keputusan pragmatis.
Di tengah kampus yang sering terlalu fokus pada nilai angka, aksiologi mengingatkan kita akan nilai sesungguhnya: nilai kemanusiaan, nilai kejujuran, dan nilai tanggung jawab. Dan itu, barangkali, adalah inti dari kenapa kita kuliah: bukan hanya untuk tahu, tapi untuk tahu arah.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan
Baca Juga Artikel Dari: Rhetorical Devices: Tools for Persuasion in Speech and Writing You Need to Master (Seriously!)

