Jakarta, studyinca.ac.id – Di sebuah ruang kelas di daerah Semarang, seorang guru bernama Pak Hadi sedang mencoba metode baru dalam mengajar matematika. Bukan hanya mengandalkan rumus di papan tulis, tapi ia menggunakan permainan interaktif. Bukan tanpa alasan—semua ini bermula dari sebuah penelitian sederhana yang ia baca tentang efektivitas metode bermain dalam meningkatkan pemahaman numerasi siswa SD.
Cerita Pak Hadi mungkin terlihat biasa. Tapi di balik eksperimen kecilnya, tersembunyi makna besar: penelitian pendidikan sedang bekerja diam-diam.
Penelitian pendidikan bukan hal yang eksklusif untuk para dosen di balik meja laboratorium. Ia adalah upaya sistematis untuk memahami, mengevaluasi, dan meningkatkan proses belajar mengajar di segala jenjang. Mulai dari PAUD sampai universitas, dari teori pedagogi hingga penggunaan teknologi di kelas, semuanya bisa jadi bahan penelitian.
Lalu, Kenapa Harus Peduli?
Jawabannya sederhana: karena kita semua adalah produk dari sistem pendidikan. Dan sistem itu tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja tanpa dievaluasi dan diteliti. Tanpa penelitian, kita hanya akan mengulang pola yang sama, meski hasilnya tidak pernah optimal.
Coba bayangkan—berapa banyak kurikulum yang berubah dalam 10 tahun terakhir? Berapa banyak guru yang mengeluh soal metode yang tidak efektif? Dan seberapa sering kita menyalahkan siswa ketika sebenarnya sistemnya yang bermasalah?
Penelitian pendidikan ada untuk menghindari semua itu. Ia seperti kompas di tengah kabut kebijakan dan praktik belajar.
Jenis-Jenis Penelitian Pendidikan dan Contoh Penerapannya di Lapangan
Banyak orang mengira penelitian pendidikan hanya sebatas kuesioner dan wawancara. Padahal, metodenya sangat beragam dan aplikatif.
Mari kita bahas jenis-jenis utama dalam penelitian pendidikan:
1. Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Ini adalah yang paling populer di kalangan guru. Biasanya dilakukan untuk mengatasi masalah spesifik di kelas, seperti rendahnya partisipasi siswa, atau kesulitan memahami materi tertentu. Contohnya, Bu Rani di Makassar mencoba media TikTok edukatif untuk membuat siswa lebih aktif belajar sejarah. Setelah tiga siklus PTK, partisipasi meningkat hingga 70%.
2. Penelitian Kualitatif
Fokus pada pengalaman, narasi, dan konteks sosial. Misalnya, studi tentang bagaimana siswa dari keluarga petani memaknai pendidikan di daerah pelosok. Ini penting untuk memahami dimensi sosial dan budaya dalam pembelajaran.
3. Penelitian Kuantitatif
Bersifat statistik dan objektif. Cocok untuk menguji hipotesis atau melihat efektivitas program. Misalnya, melihat perbedaan hasil belajar antara siswa yang menggunakan e-learning dengan yang tidak.
4. Penelitian Eksperimen
Biasanya dilakukan untuk menguji variabel tertentu. Misalnya, apakah pemberian sarapan sebelum ujian bisa meningkatkan konsentrasi siswa? Penelitian ini membantu kebijakan berbasis data.
5. Penelitian Pengembangan (R&D)
Fokus pada pengembangan media, modul, atau aplikasi belajar. Contoh: pengembangan aplikasi belajar bahasa daerah berbasis Android untuk siswa SD di Nusa Tenggara Timur.
Penelitian-penelitian ini bukan hanya untuk jurnal akademik. Hasilnya bisa mengubah cara guru mengajar, cara siswa belajar, bahkan cara pemerintah membuat kebijakan.
Kendala Penelitian Pendidikan di Indonesia: Dari Meja Guru Sampai Ruang Birokrasi
Meski penting, kenyataannya penelitian pendidikan belum jadi budaya dominan. Banyak guru yang merasa penelitian adalah beban administratif. Banyak sekolah yang tidak punya fasilitas memadai. Dan birokrasi… yah, kadang lebih rumit dari ujian matematika itu sendiri.
Seorang guru SMA di Palembang pernah mengaku, ia mengerjakan PTK hanya karena tuntutan kenaikan pangkat. Ia copy-paste beberapa bagian dari internet, ganti nama, lalu selesai. Tidak ada refleksi. Tidak ada penerapan nyata.
Ini menyedihkan, tapi bisa dimengerti.
Beberapa kendala utama:
-
Kurangnya pelatihan metodologi: Banyak guru tidak pernah diajarkan secara komprehensif cara membuat proposal, menyusun instrumen, atau menganalisis data.
-
Waktu yang terbatas: Beban mengajar tinggi, belum lagi urusan administrasi sekolah.
-
Kultur pendidikan yang belum meneliti: Kita masih melihat penelitian sebagai sesuatu yang “akademis” dan bukan bagian dari praktik profesional.
-
Akses ke literatur ilmiah: Jurnal banyak yang berbayar. Buku metodologi mahal. Akhirnya, banyak guru mencari jalan pintas.
Tapi bukan berarti tidak ada harapan.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai pelatihan penelitian berbasis komunitas. Ada platform digital yang menyediakan template PTK. Bahkan beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Bandung sudah mulai memberikan insentif khusus bagi guru yang aktif meneliti.
Penelitian Pendidikan dan Masa Depan Pembelajaran: Teknologi, Inklusi, dan Psikologi
Kita hidup di era di mana kelas tidak lagi dibatasi dinding dan papan tulis. Ada Zoom, Google Classroom, dan AI seperti ChatGPT yang bisa bantu menyusun materi pelajaran. Tapi… apakah semuanya efektif?
Jawabannya hanya bisa dijawab lewat penelitian.
Contohnya, saat pandemi COVID-19 melanda, semua siswa dipaksa belajar dari rumah. Tapi tidak semua bisa mengikuti. Anak-anak di desa yang sinyalnya lemah ketinggalan pelajaran. Di sinilah pentingnya penelitian pendidikan berbasis konteks lokal. Kita tidak bisa meng-copy metode belajar daring dari negara maju tanpa meneliti ulang kesesuaiannya.
Selain teknologi, isu inklusi juga semakin penting. Bagaimana strategi pembelajaran untuk siswa dengan kebutuhan khusus? Bagaimana memastikan mereka tidak tertinggal?
Penelitian dari Universitas Negeri Malang tahun 2022 menunjukkan bahwa metode “co-teaching” di kelas inklusif berhasil meningkatkan keterlibatan siswa berkebutuhan khusus hingga 60%. Data seperti ini penting untuk kebijakan jangka panjang.
Psikologi juga tak kalah krusial. Misalnya, studi tentang hubungan antara motivasi belajar dan kondisi mental remaja di masa pascapandemi. Atau penelitian tentang efek tekanan akademik terhadap siswa SMP di kota besar.
Semua ini menunjukkan satu hal: penelitian pendidikan adalah fondasi untuk masa depan belajar yang adil, relevan, dan adaptif.
Mendorong Budaya Meneliti: Dari Siswa, Guru, sampai Pembuat Kebijakan
Kalau kamu siswa, pernah nggak penasaran: kenapa gurumu selalu pakai metode yang sama dari dulu? Atau kamu guru yang ingin tahu, kenapa siswamu cepat bosan? Jawabannya mungkin ada di penelitian. Bukan hanya dari jurnal, tapi bisa dari riset kecil yang kamu lakukan sendiri.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
-
Sebarkan hasil penelitian dengan bahasa sederhana. Kadang yang bikin orang takut membaca penelitian adalah istilah yang terlalu akademis.
-
Ajak guru dan siswa untuk terlibat langsung. Misalnya, proyek kecil tentang pengaruh musik saat belajar.
-
Gunakan teknologi sebagai alat bantu. Banyak aplikasi yang bisa memudahkan pengumpulan data dan analisis.
-
Dorong kampus dan pemerintah untuk terbuka terhadap penelitian lokal. Tidak semua solusi datang dari luar negeri.
Dan yang terpenting: normalisasikan keraguan. Penelitian dimulai dari rasa ingin tahu. Dari pertanyaan kecil yang kita pikir remeh. Dari keinginan memperbaiki, walau sedikit.
Kita butuh lebih banyak Pak Hadi, Bu Rani, dan siswa-siswa penasaran yang mau mencoba. Mau gagal. Mau memperbaiki. Karena hanya lewat itulah kita tahu apa yang berhasil dan apa yang perlu diubah.
Penutup:
Penelitian pendidikan adalah cermin. Ia menunjukkan kekuatan dan kelemahan sistem belajar kita. Ia bukan pekerjaan segelintir akademisi, tapi milik kita semua—guru, siswa, orang tua, pembuat kebijakan.
Di era perubahan yang cepat, tidak cukup hanya ikut arus. Kita butuh pengetahuan berbasis bukti, dan itulah yang ditawarkan oleh penelitian.
Jadi, lain kali kamu merasa metode belajar itu membosankan, atau kurikulum terasa asing, jangan hanya mengeluh. Tanyakan: “Apa kata penelitian?”
Karena mungkin jawabannya bisa mengubah cara kita belajar, selamanya.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan
Baca Juga Artikel Dari: Belajar Goal Setting: Langkah Nyata Meraih Tujuan Hidup