Jakarta, studyinca.ac.id – Sebagai seorang pembawa berita yang sering mondar-mandir meliput isu hukum di berbagai ruang sidang, saya selalu merasa Hukum Perdata adalah salah satu pilar paling fundamental dalam kehidupan masyarakat. Menariknya, banyak mahasiswa—baik dari jurusan hukum maupun bidang lain—sering menganggap Hukum Perdata sebagai sesuatu yang berat dan penuh istilah. Padahal, jika ditarik pelan-pelan, cabang hukum ini justru paling dekat dengan kehidupan sehari-hari: kontrak, warisan, perjanjian sewa-menyewa, jual beli, bahkan hak kekayaan intelektual.
Dalam artikel panjang ini, kita akan mengupas konsep Hukum Perdata secara naratif dan human-friendly, dengan sudut pandang seperti seorang reporter yang baru keluar dari ruang persidangan dan ingin bercerita. Saya juga menyisipkan contoh, anekdot, dan gambaran nyata agar mahasiswa bisa memahami bahwa Hukum Perdata bukan sekadar pasal-pasal yang kaku, tetapi struktur yang mengatur relasi sosial modern.
Mari mulai perjalanan ini.
Apa Itu Hukum Perdata? Sebuah Fondasi yang Tanpa Kita Sadari Selalu Kita Gunakan

Jika Anda pernah membeli barang di marketplace, meminjam uang tanpa bunga dari teman, atau sekadar mempercayakan kost kepada seseorang, secara tidak langsung Anda telah terlibat dalam ranah Hukum Perdata. Ini bukan sesuatu yang jauh dari kehidupan kampus, melainkan hukum yang mengatur hubungan antarindividu, antarperusahaan, bahkan antara individu dan korporasi.
Dalam perspektif normatif, Hukum Perdata sering disebut sebagai civil law—suatu cabang hukum yang mengatur hak dan kewajiban individu dalam suatu masyarakat. Di Indonesia, sebagian besar sistem ini merujuk pada Burgerlijk Wetboek (BW), atau yang kita kenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Saya pernah mewawancarai seorang mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum yang mengatakan, “Awalnya saya pikir hukum itu cuma soal pidana, kriminal, dan polisi. Tapi semuanya berubah ketika saya belajar bahwa warisan keluarga bisa diatur dengan rinci oleh hukum.” Komentarnya sederhana, tetapi menggambarkan realitas: Hukum Perdata memengaruhi langkah seseorang dalam kehidupan, bahkan sebelum ia memahami apa itu pasal.
Dalam kehidupan akademik, mahasiswa sering menemui istilah seperti:
-
Subjek hukum
-
Perbuatan hukum
-
Perjanjian
-
Objek hukum
-
Harta kekayaan
-
Waris
-
Tanggung jawab perdata
Kesemuanya ini bukan sekadar teori. Mereka adalah “alat bernavigasi” dalam hidup modern.
Di era digital, Hukum Perdata bahkan makin melebar: transaksi elektronik, penipuan digital yang mengarah ke ganti rugi, penyalahgunaan data pribadi, hingga perjanjian kerja remote yang kini semakin umum terjadi sejak perubahan pola kerja global.
Jika dipikir-pikir, Hukum Perdata itu seperti udara: tidak terlihat, tetapi mengatur ritme kehidupan sipil tanpa henti.
Subjek Hukum: Siapa yang Diatur dan Siapa yang Bertanggung Jawab
Dalam liputan saya beberapa tahun lalu, saya pernah masuk ke ruang sidang perdata yang membahas sengketa antara dua perusahaan startup teknologi. Kasusnya tampak rumit di permukaan: kontrak investasi yang diduga dilanggar. Namun inti perkara kembali pada satu hal: siapa subjek hukum yang bertanggung jawab?
Bagi mahasiswa, memahami subjek hukum adalah langkah awal yang sangat penting.
Subjek hukum terbagi menjadi dua:
-
Manusia (naturlijk persoon)
Ini termasuk bayi yang baru lahir hingga orang yang mengalami disabilitas mental. Semua memiliki kedudukan hukum dan hak tertentu. -
Badan hukum (rechtspersoon)
Ini meliputi:-
PT
-
CV
-
Yayasan
-
Koperasi
-
Organisasi
-
Lembaga pendidikan
-
Yang menarik, badan hukum diperlakukan seperti manusia untuk hal-hal tertentu: bisa memiliki aset, menggugat, atau digugat.
Mahasiswa perlu memahami bahwa dalam kasus-kasus modern, badan hukum sering menjadi penggerak utama. Contohnya, ketika perusahaan e-commerce melakukan kesalahan pengiriman dan menyebabkan kerugian pada konsumen, tanggung jawab perdata muncul dari badan hukum sebagai pelaku bisnis, bukan hanya individu yang bekerja di sana.
Saya teringat pada percakapan ringan dengan seorang dosen hukum yang bilang, “Subjek hukum itu kayak pemain dalam game peraturan. Kalau kamu nggak tahu siapa pemainnya, kamu bakal bingung dengan aturannya.”
Kalimatnya terdengar santai, tapi sangat relevan untuk dipahami mahasiswa.
Perjanjian dan Kontrak: Jantung Hukum Perdata yang Sering Dianggap Remeh
Bagian ini adalah inti dari hampir semua sengketa perdata. Perjanjian atau kontrak menjadi dasar dari banyak relasi manusia—mulai dari kontrak kerja, jual beli, hingga kesepakatan magang bagi mahasiswa.
Secara hukum, suatu perjanjian sah apabila memenuhi empat syarat:
-
Kesepakatan (consensus ad idem)
-
Kecakapan para pihak
-
Objek tertentu
-
Sebab yang halal
Saya pernah bertemu dengan seorang mahasiswa bisnis yang bingung karena kontrak vendor yang ia tanda tangani untuk acara kampus ternyata cacat hukum. Vendor tersebut tidak memberikan layanan sesuai kesepakatan. Masalahnya, kontrak dibuat tidak jelas: tidak ada tenggat waktu tertulis, tidak ada nilai ganti rugi, bahkan tidak ada mekanisme pembatalan.
Anekdot kecil tersebut mengingatkan kita bahwa memahami kontrak bukan hanya milik mahasiswa hukum. Bila Anda aktif di organisasi kampus, pebisnis muda, pemilik UMKM, atau freelancer, Anda wajib paham dasar-dasar Perjanjian dalam Hukum Perdata.
Dalam era digital, perjanjian bahkan sering dibuat secara elektronik melalui aplikasi, tanda tangan digital, atau sekadar chat. Menurut sejumlah pakar hukum yang pernah saya wawancara, dokumen digital tetap sah asalkan memenuhi unsur kesepakatan dan bisa dibuktikan secara hukum.
Bagi mahasiswa yang bercita-cita bekerja di bidang legal, startup, atau corporate, memahami hukum perjanjian adalah pintu masuk menuju profesionalisme.
Hak Waris: Ketika Hukum Menentukan Arah Aset Keluarga
Salah satu isu paling sensitif yang sering saya temui saat meliput sidang adalah perkara warisan. Hukum Perdata tidak hanya mengatur aset saat seseorang masih hidup, tetapi juga bagaimana harta tersebut berpindah tangan setelah seseorang meninggal.
Bagi mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga besar, perkara ini cukup relevan. Banyak konflik keluarga berawal dari ketidakpahaman soal pembagian waris. Saya pernah berbicara dengan seorang mahasiswa tingkat tiga yang terjebak dalam konflik keluarga hanya karena tidak ada wasiat tertulis. Ceritanya begini:
Kakeknya memiliki sebidang tanah yang sangat bernilai. Namun, ketika beliau wafat, tidak ada dokumen yang jelas mengenai siapa ahli waris yang berhak. Konflik pun muncul, membuat hubungan keluarga retak. Sang mahasiswa akhirnya mencari bantuan ke fakultas hukum untuk meminta saran.
Masalah ini sangat umum terjadi. Dalam Hukum Perdata, waris dapat terbagi melalui:
-
Waris menurut undang-undang
-
Waris berdasarkan wasiat
Mengetahui perbedaan ini membantu mahasiswa memahami bahwa hak waris bukan hal tabu, melainkan bagian dari perencanaan keluarga.
Di banyak berita nasional, sengketa waris sering menjadi sorotan karena melibatkan aset besar atau tokoh publik. Namun akar persoalan biasanya tetap sama: kurangnya edukasi mengenai hukum waris.
Tanggung Jawab Hukum: Ketika Kerugian Butuh Kepastian
Dalam berbagai liputan saya mengenai kasus perdata, topik ganti rugi hampir selalu muncul. Tanggung jawab hukum menjadi bagian dari Hukum Perdata yang memastikan kerugian dapat dikompensasi dengan adil.
Ada dua jenis tanggung jawab utama:
-
Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability)
-
Tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability)
Mahasiswa perlu memahami bahwa dalam dunia modern, strict liability sering dipakai dalam industri berisiko tinggi seperti energi, konstruksi, atau produk digital yang mempengaruhi publik.
Sebagai contoh, jika sebuah aplikasi fintech mengalami kebocoran data dan menyebabkan kerugian pengguna, perusahaan dapat dikenai tanggung jawab meskipun mereka mengklaim telah menyiapkan keamanan yang memadai. Konsep strict liability hadir untuk melindungi konsumen.
Saya teringat pada seorang jurnalis investigasi yang pernah berkata, “Dalam kasus perdata, kerugian itu harus bisa dihitung. Kalau tidak, argumennya akan rapuh.” Itu benar adanya. Dalam banyak perkara perdata, besar kecilnya kerugian sangat mempengaruhi posisi hukum para pihak.
Hal ini relevan bagi mahasiswa, terutama di era digital yang penuh risiko cybercrime, penipuan online, atau sengketa finansial di marketplace.
Hukum Perdata di Era Digital: Mahasiswa Wajib Melek Teknologi dan Konsekuensinya
Perubahan gaya hidup digital telah membawa Hukum Perdata ke babak baru. Kini, transaksi, kontrak, bahkan sengketa terjadi di dunia maya. Mahasiswa sebagai generasi yang paling aktif secara digital harus memahami dampak hukum yang mengikuti aktivitas online.
Beberapa isu penting yang kini makin relevan:
-
Transaksi elektronik
-
Penyalahgunaan data pribadi
-
Tanda tangan digital
-
Pembajakan konten digital
-
Perjanjian kerja remote
-
E-commerce dan perlindungan konsumen
-
Sengketa online berbasis platform
Dalam sebuah wawancara dengan pakar keamanan data, saya mendengar satu kalimat yang cukup menampar: “Anak muda jam sekarang lebih takut kehilangan followers daripada data pribadi.” Sebuah ironi, tapi benar adanya. Padahal kebocoran data dapat berdampak perdata seperti ganti rugi atau pencemaran nama baik.
Mahasiswa perlu memahami bahwa semakin digital hidup kita, semakin besar pengaruh Hukum Perdata terhadap keamanan dan kenyamanan aktivitas sehari-hari.
Penutup: Mengapa Mahasiswa Perlu Memahami Hukum Perdata Sejak Dini
Belajar Hukum Perdata bukan soal menjadi pengacara. Ini tentang memahami hak-hak dasar sebagai manusia modern. Dari perjanjian sederhana sampai perencanaan keluarga, dari kontrak kerja hingga transaksi digital, semuanya berada di bawah payung Hukum Perdata.
Bagi mahasiswa, pemahaman ini akan menjadi bekal penting untuk memasuki dunia profesional yang semakin kompleks. Apa pun jurusannya—hukum, bisnis, teknologi, komunikasi, atau bahkan seni—pemahaman Hukum Perdata adalah fondasi untuk melindungi diri dan orang lain.
Sebagai jurnalis yang telah menyaksikan banyak kisah persidangan, saya percaya bahwa semakin paham seseorang mengenai hukum, semakin kecil risiko ia terjebak dalam masalah.
Dan bagi mahasiswa, sekarang adalah waktu terbaik untuk mulai memahami Hukum Perdata secara mendalam, bukan nanti ketika masalah sudah datang mengetuk pintu.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan
Baca Juga Artikel Dari: Demokrasi Digital: Cara Mahasiswa Menavigasi Ruang Publik Baru di Era Teknologi

