Jakarta, studyinca.ac.id – Di sebuah ruang kelas Filsafat Periode Socrates kampus negeri ternama di Jakarta, seorang dosen berkata sambil tersenyum, “Kalau kamu bisa membuat Socrates mengangguk, berarti kamu berpikir.” Beberapa mahasiswa tertawa kecil, sebagian mengangguk pelan — tapi tidak sedikit yang tampak bingung. Siapa sebenarnya Socrates, dan kenapa namanya terus hidup dalam diskusi intelektual sampai hari ini?
Mari kita lompat ke abad ke-5 sebelum masehi, di jalan-jalan sempit Athena. Di sana, seorang pria berjanggut dengan tatapan tajam tapi penuh keingintahuan berdiri di tengah kerumunan, bertanya:
“Apa itu keadilan?”
“Apakah pengetahuan itu bisa diajarkan?”
Ia bukan orator flamboyan. Ia bukan penulis buku. Tapi lewat pertanyaan dan diskusi tiada henti, Socrates menjadi figur sentral dalam sejarah filsafat Barat.
Periode ini dikenal sebagai Filsafat Periode Socrates, yaitu masa transisi penting dalam pemikiran Yunani. Dari yang awalnya kosmologis dan metafisik ala para filsuf pra-Socrates (seperti Thales dan Anaximandros), menjadi lebih fokus ke etika, logika, dan manusia itu sendiri.
Ciri-Ciri Utama Periode Socrates – Bertanya, Bukan Menjawab

Di tengah arus informasi zaman sekarang, di mana semua hal bisa dicari lewat internet dalam hitungan detik, Socrates muncul sebagai antitesis. Ia tidak memberi jawaban. Ia justru bertanya — dan terus bertanya. Inilah yang dikenal sebagai metode dialektika atau elenchus, metode tanya-jawab yang membongkar keyakinan untuk menemukan kebenaran sejati.
Beberapa karakteristik utama dari Filsafat Periode Socrates:
-
Perhatian pada Etika dan Moralitas
Socrates percaya bahwa hidup yang baik hanya bisa dicapai lewat refleksi moral. Ia menolak untuk memisahkan pengetahuan dari tindakan. Bagi Socrates, tahu yang benar berarti harus berbuat benar. -
Metode Dialog dan Ironi
Ia sering berpura-pura tidak tahu (ironi Socrates) hanya untuk memancing lawan bicaranya berpikir lebih dalam. Aneh? Ya. Tapi efektif? Sangat. -
Penolakan atas Relativisme
Di tengah maraknya ajaran sofis (yang menganggap kebenaran relatif), Socrates justru mencari esensi dari kebajikan yang universal.
Dalam dunia pendidikan tinggi, metode Socrates ini bisa kita lihat pada tugas diskusi terbuka, debat akademik, dan ujian oral — semua yang mendorong mahasiswa berpikir sendiri, bukan sekadar menghafal.
Socrates di Tengah Kelas Online dan Zoom Meeting
Mari kita tarik ke masa sekarang. Seorang mahasiswa filsafat, Fina, sedang menghadiri kuliah daring bertajuk “Filsafat Moral dan Pemikiran Klasik”. Saat dosennya melempar pertanyaan:
“Apakah kamu akan berbohong untuk menyelamatkan seseorang dari bahaya?”
Fina terdiam. Ini bukan soal jawaban benar atau salah. Ini tentang membongkar keyakinan moral yang selama ini dianggap pasti. Itulah kekuatan warisan dari Filsafat Periode Socrates — pertanyaan yang membuat kita berhenti dan berpikir.
Bahkan dalam dunia modern, metode ini masih sangat relevan. Socrates akan sangat menikmati melihat mahasiswa berdiskusi dalam forum daring, mempertanyakan sistem hukum, etika media sosial, hingga moralitas kecerdasan buatan.
Bayangkan jika Socrates hadir di dunia sekarang. Ia mungkin akan bertanya:
-
“Apakah kamu tahu mengapa kamu percaya pada berita yang kamu baca?”
-
“Apa yang membuat sebuah postingan di media sosial benar secara etis?”
-
“Apa itu ‘hidup baik’ di tengah algoritma dan validasi digital?”
Mahasiswa kekinian yang terbiasa dengan debat digital bisa melihat Socrates bukan sebagai sosok kuno yang membosankan, tapi sebagai pemantik revolusi cara berpikir — jauh dari sekadar ‘teks wajib’ di silabus.
Dari Meja Pengadilan ke Ruang Kelas: Warisan Tragis Sang Filsuf
Socrates tidak menulis satu buku pun. Seluruh ajarannya sampai ke kita melalui murid-muridnya, terutama Plato. Tapi kisah hidupnya sendiri sudah seperti drama klasik yang menyayat.
Pada 399 SM, Socrates diadili oleh negara Athena karena dianggap “merusak akhlak pemuda” dan “tidak mengakui dewa-dewa negara”. Ia dihukum mati — bukan karena membunuh, mencuri, atau merampok, tapi karena bertanya terlalu banyak.
Dalam “Apologia”, karya Plato yang menceritakan pembelaan Socrates di pengadilan, ia berkata:
“Hidup yang tidak direfleksikan bukanlah hidup yang layak dijalani.”
Kalimat ini masih menggema hingga kini. Di tengah kehidupan yang cepat, serba instan, dan penuh tekanan sosial, mahasiswa ditantang untuk berhenti sejenak dan merefleksikan: Mengapa saya melakukan ini? Apa makna di balik semua ini?
Warisan tragis Socrates mengajarkan bahwa berpikir itu tidak selalu aman, tidak selalu populer, dan kadang menyakitkan. Tapi di sanalah letak keberanian intelektual — dan tugas mahasiswa bukan hanya mengejar nilai, tapi keberanian berpikir itu sendiri.
Socrates dan Mahasiswa Milenial – Belajar dari yang Tak Tertulis
Apa yang bisa dipelajari mahasiswa dari filsuf yang hidup ribuan tahun lalu tanpa akun media sosial, tanpa gawai, dan bahkan tanpa buku?
1. Pentingnya Bertanya
Mahasiswa seringkali merasa malu bertanya karena takut terlihat bodoh. Tapi Socrates justru merayakan kebodohan awal sebagai langkah menuju kebijaksanaan. Ketidaktahuan bukan aib — justru gerbang menuju pemahaman.
2. Tidak Menelan Mentah-Mentah
Dalam era clickbait dan hoaks, mahasiswa harus belajar berpikir skeptis dan analitis. Filsafat Periode Socrates mengajarkan untuk memverifikasi, menyelidiki, dan tidak langsung percaya pada “otoritas”.
3. Etika dalam Perbuatan Kecil
Socrates tidak pernah mengaku tahu segalanya, tapi ia percaya bahwa etika bukan hanya di ruang besar. Ia percaya bahwa cara kamu memperlakukan teman sekelas, menyalin tugas, atau memperlakukan petugas kampus — semuanya merefleksikan kualitas moral.
4. Menghargai Proses, Bukan Hanya Hasil
Zaman sekarang menuntut segalanya serba cepat. Tapi Socrates akan bilang: yang penting bukan siapa yang lulus paling dulu, tapi siapa yang benar-benar memahami hidup lewat pembelajarannya.
Membumikan Socrates dalam Dunia Akademik dan Kehidupan Sehari-Hari
Sebagai pembawa berita yang gemar menelusuri jejak sejarah dalam kehidupan modern, saya bertanya pada tiga mahasiswa dari fakultas berbeda:
Arman – Teknik Informatika
“Gue kagum sama Socrates pas tahu dia ngelawan status quo. Kayaknya di coding juga gitu, kita gak boleh asal ikut template, tapi harus tahu kenapa pakai algoritma itu.”
Laras – Ilmu Komunikasi
“Aku suka caranya berdialog. Di kelas Public Speaking, metode Socratic emang bisa dipakai buat gali insight audiens, biar gak monoton.”
Gilang – Hukum
“Dia ngajarin kita buat pikir sebelum bicara. Penting banget di debat hukum, karena opini doang gak cukup.”
Mereka bertiga adalah contoh nyata bahwa Filsafat Periode Socrates bukan sekadar sejarah usang. Ia hidup dalam gaya belajar, dalam cara bertanya, dan bahkan dalam cara mahasiswa menjalani interaksi sosial.
Penutup: Socrates, Teman Lama dalam Pikiran Mahasiswa Baru
Ketika mahasiswa duduk diam di kelas, mendengarkan dosen membahas Plato atau Aristoteles, sering kali lupa bahwa akar semua itu bermula dari satu pria bersahaja yang lebih banyak diam dan bertanya daripada berceramah.
Socrates tidak ingin kita percaya padanya. Ia ingin kita percaya pada kekuatan berpikir sendiri.
Filsafat Periode Socrates adalah pengingat bahwa pendidikan sejati bukan soal seberapa banyak kamu tahu, tapi seberapa dalam kamu bertanya. Dan dalam dunia modern yang terlalu berisik ini, warisan Socrates terasa lebih penting dari sebelumnya.
Karena di ujungnya, hidup yang layak dijalani bukanlah hidup yang penuh jawaban, tapi hidup yang berani bertanya.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan
Baca Juga Artikel dari: Menyelami Dunia Fisika Nuklir: Antara Energi dan Tantangan Masa Depan

