Jakarta, studyinca.ac.id – Pada suatu siang yang mendung di bulan April, saya menghadiri forum mahasiswa bertema “Integritas dalam Bisnis: Mulai dari Bangku Kuliah”. Acara itu digelar oleh Himpunan Mahasiswa Manajemen di sebuah universitas negeri. Yang mengejutkan, aula penuh sesak. Saya nyaris tidak kebagian kursi.
Seorang mahasiswa bernama Alif, dengan semangatnya yang khas anak Gen Z, bertanya kepada pembicara, “Bang, kalau sistem di dunia kerja itu udah korup dari atas, masih gunanya gak kita pegang idealisme dan Kode Etik Bisnis?” Pertanyaan itu disambut tepuk tangan panjang. Dan di situlah saya sadar—isu ini ternyata jauh lebih relevan daripada yang saya duga.
Mahasiswa hari ini hidup dalam zaman yang serba cepat dan kompetitif. Banyak di antara mereka sudah menjalani bisnis online, magang di startup, bahkan terlibat dalam proyek-proyek besar sejak kuliah. Tapi justru di situ letak persoalannya: seiring banyaknya peluang, godaan untuk mengabaikan etika juga makin besar.
Mungkin awalnya sepele: mark up harga barang saat jadi reseller, memalsukan testimoni, atau mengakali sistem reimbursement magang. Tapi dari situlah integritas diuji. Dan kode etik bisnis hadir sebagai fondasi moral yang harusnya ditanamkan sejak awal, sebelum mereka terjun lebih dalam ke dunia kerja.
Di titik ini, kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga ladang pembentukan karakter. Dan jika mahasiswa tidak diajak bicara serius soal kode etik bisnis, siapa lagi yang akan menjaga marwah profesionalisme di masa depan?
Apa Itu Kode Etik Bisnis, dan Kenapa Mahasiswa Harus Peduli?
Kode etik bisnis bukan sekadar aturan formal yang dibacakan saat orientasi karyawan. Ia adalah prinsip moral yang membingkai bagaimana kita mengambil keputusan—terutama ketika tak ada yang mengawasi.
Secara umum, kode etik bisnis mencakup nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, transparansi, anti-korupsi, hingga kepatuhan terhadap hukum. Tapi pada praktiknya, kode etik ini tak hanya soal peraturan tertulis, melainkan juga sikap batin.
Mari kita ambil contoh kecil. Seorang mahasiswa bernama Dea menjalankan bisnis thrift shop online. Suatu hari, ia dapat batch barang yang kualitasnya kurang bagus. Dilema muncul: apakah ia jujur di caption bahwa barang cacat ringan, atau tetap bungkam demi cepat laku? Dalam situasi semacam inilah kode etik bicara. Bukan tentang benar atau salah secara hukum, tapi soal pilihan moral.
Menurut hasil survei yang dirilis oleh lembaga riset pendidikan di Indonesia, lebih dari 60% mahasiswa yang sudah terlibat dalam bisnis mengaku pernah menghadapi dilema etis. Namun hanya sebagian kecil yang tahu bagaimana meresponsnya dengan bijak. Sisanya? Bingung. Bahkan menganggap itu hal biasa.
Padahal, semakin dini mahasiswa akrab dengan prinsip etika, semakin tangguh mereka dalam menghadapi situasi abu-abu. Dunia profesional memang tak hitam-putih. Tapi justru karena itu, kode etik jadi cahaya penuntun yang tak bisa ditawar.
Membedah Dilema Etis yang Sering Dihadapi Mahasiswa
Bicara soal kode etik bisnis di kalangan mahasiswa tak bisa lepas dari realitas sehari-hari. Banyak dari mereka bukan hanya belajar di kelas, tapi juga berbisnis, magang, hingga jadi influencer. Nah, semua ini penuh dilema etis.
Contoh pertama: praktik plagiat dalam proposal bisnis. Di sebuah lomba kewirausahaan kampus, ada cerita viral tentang dua tim yang mengajukan ide mirip. Ternyata, salah satu tim mencontek dari proposal yang sempat mereka baca dari event tahun lalu. Ketika ditanya, mereka berkata, “Namanya juga ide bisnis, semua orang bisa mikir yang sama.” Pernyataan itu terdengar masuk akal—tapi secara etis, jelas bermasalah.
Contoh kedua: mahasiswa magang di perusahaan jasa keuangan diminta merekayasa laporan agar terlihat menguntungkan bagi klien. Ia bingung—mau nolak, takut kehilangan kesempatan kerja. Tapi mau ikut, nuraninya menolak. Inilah dilema khas yang tidak terjawab hanya dengan logika akademik. Perlu nilai, hati nurani, dan keberanian.
Ada pula yang lebih subtle: mempromosikan produk di media sosial tanpa disclose bahwa itu endorse berbayar. Beberapa mahasiswa beranggapan, “Ah, siapa juga yang peduli.” Padahal, kejujuran dan transparansi adalah fondasi kepercayaan dalam dunia digital yang makin sensitif terhadap isu etika.
Melalui pengalaman-pengalaman nyata inilah mahasiswa belajar bahwa kode etik bukan teori kosong. Ia hidup dalam setiap keputusan kecil yang kita buat. Dan jika tidak dibiasakan sejak awal, bisa jadi kelak mereka justru ikut membenarkan praktik curang demi ambisi pribadi.
Peran Kampus dan Dosen dalam Membangun Kesadaran Etika
Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah kampus sudah cukup serius membekali mahasiswa dengan pendidikan etika bisnis? Jawabannya belum tentu.
Memang ada mata kuliah “Etika Bisnis”, tapi seringkali disampaikan sebatas teori—tak menyentuh realitas mahasiswa. Beberapa dosen masih mengajar dengan cara yang terlalu normatif. Padahal, mahasiswa butuh pendekatan yang lebih membumi.
Di sinilah pentingnya metode pengajaran berbasis studi kasus. Misalnya, dosen bisa meminta mahasiswa menganalisis kasus nyata seperti skandal korporat (misalnya kasus Jiwasraya atau Asabri) dari perspektif etika. Atau mengajak mahasiswa menyusun kode etik internal untuk bisnis fiktif yang mereka bangun dalam tugas kelompok.
Tak hanya itu, kampus juga bisa menggandeng praktisi bisnis yang punya reputasi etis untuk berbagi pengalaman. Misalnya, menghadirkan CEO startup halal, auditor syariah, atau pengacara bisnis. Tujuannya bukan menggurui, tapi memperlihatkan bahwa etika itu bisa dijalankan—dan bukan hambatan kesuksesan.
UKM dan organisasi kemahasiswaan juga punya peran besar. Mereka bisa membuat simulasi sidang kode etik, membuka hotline pelaporan kasus pelanggaran integritas, hingga membuat kampanye digital bertema “Etika Itu Keren”.
Dengan pendekatan kolaboratif seperti ini, kesadaran etika tidak lagi jadi wacana, tapi budaya yang tumbuh di lingkungan kampus.
Menjadikan Kode Etik Bisnis Sebagai Gaya Hidup Mahasiswa
Pertanyaan pamungkas: bagaimana agar kode etik bisnis tidak hanya jadi hafalan untuk ujian, tapi benar-benar membentuk gaya hidup mahasiswa?
Jawabannya sederhana, tapi tidak mudah: mulai dari diri sendiri, dari hal-hal kecil.
Mahasiswa bisa membiasakan diri untuk transparan dalam jual beli, jujur dalam menilai produk, dan tidak memanipulasi narasi demi likes. Mereka bisa menolak ikut proyek yang penuh tipu muslihat, meskipun bayarannya tinggi. Bisa memilih kerja sama yang berlandaskan kesetaraan, bukan sekadar ambisi menang sendiri.
Di era digital, mahasiswa juga bisa menjadi agen perubahan lewat konten. Bayangkan akun TikTok atau Instagram yang membahas etika bisnis dengan cara yang fun, relatable, dan berani. Atau podcast mingguan yang membedah dilema etika dari kasus nyata. Gak harus serius terus. Etika juga bisa dibawa santai, asal niatnya tulus.
Yang tak kalah penting, mahasiswa harus belajar berdamai dengan konsekuensi. Berpegang teguh pada etika kadang berarti melepas peluang. Tapi kepercayaan dan reputasi yang dibangun dari situ akan jauh lebih langgeng.
Seperti kata pepatah lama yang diucapkan ulang oleh banyak mentor bisnis hari ini: “It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it.” Dan mahasiswa yang sadar etika sejak dini adalah mereka yang akan jadi pemimpin masa depan—yang tak hanya cerdas, tapi juga berintegritas.
Penutup
Kode etik bisnis bukan sesuatu yang muluk. Ia adalah kompas moral yang harus dimiliki setiap mahasiswa yang bercita-cita terjun ke dunia profesional. Tanpa kompas itu, kita rawan tersesat—terutama ketika keputusan etis tak selalu terlihat benar secara kasat mata.
Mahasiswa hari ini hidup di zaman yang penuh peluang, tapi juga dipenuhi jebakan nilai. Menjadikan etika sebagai kebiasaan bukan tugas yang mudah. Tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, dari siapa lagi?
Dan jika kita ingin melihat dunia bisnis yang lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih berkelanjutan di masa depan—semuanya harus dimulai dari kampus. Dari para mahasiswa. Dari kita semua.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan
Baca Juga Artikel dari: Mengenal Ilmu Kesehatan: Dasar, Perkembangan, dan Manfaat dalam Kehidupan