Jakarta, studyinca.ac.id – Saat pertama kali saya mendengar kabar lolos program pertukaran pelajar ke Korea Selatan, reaksi saya campur aduk: antara bangga, takut, dan… overthinking. Keluarga langsung heboh, tetangga mulai bilang “Wah, nanti bisa jadi artis drama Korea nih,” dan saya? Lagi sibuk googling, “cara mengucapkan terima kasih dalam bahasa Korea tanpa salah logat”.
Pertukaran pelajar — atau student exchange program — sering kali diasumsikan sebagai “liburan belajar gratis.” Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks dari itu. Ini bukan soal kamu pamer paspor di Instagram atau nyobain makanan street food yang lucu. Ini tentang bagaimana kamu mewakili negaramu sendiri, sambil belajar bertahan di lingkungan asing, dengan bahasa yang nggak kamu kuasai, dan budaya yang kadang bikin culture shock sampai migrain.
Tapi di situlah letak keindahannya.
Proses Seleksi Pertukaran Pelajar—Bukan Soal Nilai Saja
Banyak orang kira untuk ikut program pertukaran pelajar, kamu harus jadi siswa 100% ranking satu terus. Padahal nggak selalu begitu. Di banyak program, soft skill seperti kepercayaan diri, kemampuan komunikasi, dan motivasi jauh lebih penting daripada nilai akademik semata.
Contoh Nyata: Wawancara yang Mengubah Segalanya
Saya masih ingat saat wawancara program AFS (American Field Service), pewawancara hanya bertanya, “Apa hal paling memalukan yang pernah kamu alami, dan apa yang kamu pelajari darinya?”
Bukan soal nilai fisika saya.
Di situ saya sadar, mereka mencari orang yang siap belajar dari kesalahan, bukan yang sempurna dari awal.
Tips buat yang Mau Ikut Seleksi:
-
Jujur soal motivasi pribadi. Jangan asal nyalin jawaban “karena ingin belajar budaya” — ungkapkan pengalaman kamu secara personal.
-
Latih public speaking sederhana. Kamu gak perlu fluent English, yang penting percaya diri.
-
Siapkan mental adaptasi. Banyak program butuh bukti kamu bisa survive jauh dari keluarga.
Hari-H Pertama di Negara Tujuan—Antara Excited dan Kaget Setengah Mati
Setelah semua proses, visa beres, dan koper siap… tibalah waktu keberangkatan. Saya masih ingat aroma ruang bandara pagi-pagi, dan suara “Last call for flight to Seoul” yang seperti jadi soundtrack awal hidup baru.
Tapi sesampainya di sana, rasanya seperti dilempar ke film yang belum pernah saya tonton.
Host family saya di Gwangju menyambut hangat, tapi saya langsung bingung saat makan pertama: kimchi, nasi, ikan kering, dan sup dingin… untuk sarapan. Tidak ada roti, tidak ada teh manis.
Saya harus berpura-pura excited sambil nahan lidah terbakar.
Dan ini baru permulaan. Saya harus mulai sekolah di tempat yang murid-muridnya tidak berbicara bahasa Inggris, buku pelajaran semua huruf Hangeul, dan guru-gurunya cepat sekali berbicara. Satu minggu pertama, saya lebih banyak diam, tersenyum, dan salah jawab.
Tapi justru dari kesalahan-kesalahan itu, saya mulai benar-benar belajar. Belajar mendengar, membaca bahasa tubuh, dan memahami dunia tanpa kata-kata.
Tantangan Nyata—Homesick, Budaya, dan Identitas Diri yang Dipertanyakan
Tiga bulan pertama adalah masa adaptasi tersulit. Mungkin kamu pernah dengar istilah “honeymoon phase” dalam culture shock. Awalnya semua terasa seru. Tapi setelah itu? Tiba-tiba kamu merasa sendirian, bahkan saat berada di tengah keramaian.
Beberapa tantangan yang sering dirasakan peserta pertukaran pelajar:
-
Homesick:
Momen seperti ulang tahun sendiri di negeri orang terasa sepi banget. Video call pun nggak bisa sepenuhnya mengobati. -
Kesalahpahaman budaya:
Di negara tujuan saya, memotong pembicaraan orang tua dianggap sangat tidak sopan. Saya pernah melakukannya tanpa sadar, dan host family saya terlihat tersinggung. -
Rasa kehilangan identitas:
Kamu mulai bertanya, “Saya siapa sih sebenarnya?” karena setiap hari kamu harus menyesuaikan diri, beradaptasi, dan terkadang menekan bagian dari dirimu sendiri agar bisa diterima.
Tapi di balik itu semua, kamu mulai menemukan versi baru dirimu. Versi yang lebih tangguh, lebih bijak, dan lebih terbuka.
Manfaat Seumur Hidup dari Pertukaran Pelajar—Yang Tak Terlihat di CV
Sekarang setelah saya pulang, ada satu pertanyaan yang Inca Travel paling sering saya dapat: “Worth it gak sih ikut pertukaran pelajar?”
Jawaban saya: Sangat worth it. Tapi bukan karena saya jadi jago bahasa asing atau punya sertifikat keren. Melainkan karena saya pulang sebagai manusia yang lebih dewasa secara emosional dan punya perspektif dunia yang lebih luas.
Beberapa hal tak ternilai yang saya dapat:
-
Empati lintas budaya:
Saya belajar bahwa norma sosial di satu negara belum tentu cocok di negara lain — dan itu gak masalah. -
Kemandirian penuh:
Mulai dari cari makan, cuci baju, hingga urus sakit sendiri. Hidup bukan lagi “dibantu” orang tua. -
Jaringan internasional:
Teman dari Turki, Jerman, Jepang, hingga Brasil kini jadi bagian dari hidup saya. Dan suatu hari nanti, siapa tahu kami kolaborasi dalam proyek internasional? -
Kemampuan komunikasi tanpa kata:
Saya jadi lebih peka membaca ekspresi, nada suara, dan konteks sosial. Ini penting banget dalam kerja profesional di masa depan.
Penutup: Kalau Kamu Punya Kesempatan, Ambillah—Tapi dengan Mata Terbuka
Pertukaran pelajar bukan sekadar program, bukan ajang prestise, dan bukan pula jalan pintas jadi keren di CV.
Ini adalah perjalanan batin, pertarungan internal, dan investasi jangka panjang yang akan mengubah caramu melihat dunia — dan melihat dirimu sendiri.
Kalau kamu punya kesempatan, ambillah. Tapi bersiaplah bukan hanya dengan koper dan paspor, tapi juga dengan hati terbuka dan pikiran yang siap belajar ulang dari nol.
Karena di balik jetlag dan kesalahan kecil, ada satu hal yang tak tergantikan: versi terbaik dari dirimu yang hanya bisa kamu temukan jauh dari zona nyaman.
Baca Juga Artikel dari: Study Trip Tematik: Cara Belajar yang Lebih Menyenangkan dan Bermakna
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pertukaran Pelajar