Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga: Pembagian yang Menguntungkan Belanda

Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1757 merupakan peristiwa penting dalam sejarah Jawa, yang semakin memperlemah Kesultanan Mataram dan memperkuat cengkeraman kolonial Belanda di Nusantara. Perjanjian ini membagi wilayah Surakarta menjadi dua, dengan membentuk Kadipaten Mangkunegaran sebagai wilayah baru di bawah pengaruh Belanda.

Kesepakatan ini adalah kelanjutan dari Perjanjian Giyanti (1755), yang sebelumnya telah membagi Kesultanan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Namun, meskipun bertujuan untuk mengakhiri konflik di Jawa, Perjanjian Salatiga justru membantu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dalam memperkuat kontrolnya terhadap kerajaan-kerajaan Jawa, melemahkan kedaulatan pribumi, dan memperpanjang era kolonialisme di Indonesia.

Artikel ini akan membahas latar belakang perjanjian, isi kesepakatan, dampaknya terhadap politik Jawa, serta bagaimana peristiwa ini menjadi bagian dari strategi Belanda dalam memecah belah kekuatan pribumi.

Latar Belakang Perjanjian Salatiga

Gedung Pakuwon Salatiga Jadi Saksi Sejarah Perjanjian Salatiga 1757, Kini  Nasibnya Seperti Ini - Harian Merapi

1. Konflik Pasca-Perjanjian Giyanti (1755)

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755, Kesultanan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta di bawah pengetahuan Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono I.

Namun, tidak semua pihak menerima perjanjian tersebut. Salah satu tokoh yang menolak pembagian ini adalah Raden Mas Said, yang lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.

  • Pangeran Sambernyawa adalah keponakan Pakubuwono II dan seorang bangsawan yang merasa bahwa perjanjian ini tidak adil.
  • Ia menolak tunduk kepada Surakarta dan Yogyakarta dan tetap melanjutkan perlawanan terhadap VOC serta kerajaan-kerajaan yang didukung oleh Belanda.
  • Dalam kurun waktu lebih dari 16 tahun, ia terus melakukan perlawanan dan menguasai beberapa wilayah di Jawa Tengah.

Keadaan ini menyebabkan Belanda merasa perlu untuk mencari jalan damai, agar konflik berkepanjangan Perjanjian Salatiga tidak mengganggu kepentingan dagang mereka.

2. Upaya VOC untuk Mengendalikan Jawa

VOC menyadari bahwa jika perpecahan terus terjadi, maka perdagangan dan kestabilan politik di Jawa akan terganggu. Oleh karena itu, mereka mencoba mendamaikan konflik dengan memberikan kekuasaan kepada Pangeran Sambernyawa, tetapi tetap dalam pengaruh VOC.

  • VOC mengusulkan agar wilayah Surakarta dibagi lagi, sehingga Pangeran Sambernyawa mendapatkan bagian kekuasaannya sendiri.
  • Dengan strategi ini, VOC bisa mengendalikan lebih banyak wilayah tanpa harus terlibat langsung dalam peperangan.
  • Pangeran Sambernyawa akhirnya menerima tawaran ini, karena melihatnya sebagai satu-satunya cara untuk tetap memiliki pengaruh politik di Jawa.

Akhirnya, pada 17 Maret 1757, Perjanjian Salatiga ditandatangani, yang menjadi penyelesaian konflik antara Kasunanan Surakarta, VOC, dan Pangeran Sambernyawa.

Isi Perjanjian Salatiga

Perjanjian ini berisi beberapa poin utama yang menentukan pembagian kekuasaan dan pengaruh VOC di Jawa, antara lain:

  1. Pangeran Sambernyawa diakui sebagai penguasa wilayah baru dengan gelar Mangkunegara I.
  2. Wilayah Kasunanan Surakarta dibagi menjadi dua, sehingga Kadipaten Mangkunegaran berdiri sebagai wilayah mandiri.
  3. Mangkunegara I tetap tunduk kepada VOC dan tidak boleh melakukan perlawanan terhadap Belanda.
  4. Kadipaten Mangkunegaran tidak berhak menyandang gelar “Susuhunan” atau “Sultan”, tetapi hanya sebagai penguasa wilayah otonom di dalam Surakarta.
  5. Mangkunegaran harus membantu VOC dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayahnya.
  6. VOC berhak ikut campur dalam urusan pemerintahan Mangkunegaran jika dianggap perlu.

Dengan adanya perjanjian ini, Pangeran Sambernyawa akhirnya memiliki wilayah sendiri, tetapi dengan kekuasaan yang terbatas dan berada dalam kendali VOC.

Artikel kesehatan, makanan sampai kecantikan lengkap hanya ada di: https://www.autonomicmaterials.com

Dampak Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga dan Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Jawa

1. Semakin Terpecahnya Kesultanan Mataram Perjanjian Salatiga

Perjanjian ini semakin memperlemah kekuatan politik Jawa, karena kini:

  • Mataram yang sebelumnya satu telah terpecah menjadi tiga bagian:
    • Kasunanan Surakarta (Pakubuwono III)
    • Kesultanan Yogyakarta (Sultan Hamengkubuwono I)
    • Kadipaten Mangkunegaran (Mangkunegara I)

Belanda menggunakan taktik “divide et impera” (politik pecah belah) agar tidak ada satu kerajaan besar yang cukup kuat untuk melawan mereka.

2. VOC Semakin Menguasai Jawa

Dengan perjanjian ini, VOC berhasil memastikan bahwa semua pihak di Jawa tunduk kepada mereka.

  • Tidak ada lagi ancaman dari Pangeran Sambernyawa, yang sebelumnya menjadi pemimpin gerakan perlawanan.
  • VOC bisa mengontrol ekonomi dan politik di Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran tanpa harus mengeluarkan banyak biaya perang.

3. Melemahnya Otoritas Bangsawan Jawa Perjanjian Salatiga

Setelah perjanjian ini, penguasa pribumi tidak lagi memiliki kedaulatan penuh atas wilayah mereka.

  • Raja-raja Jawa menjadi lebih bergantung pada VOC, baik dalam ekonomi maupun militer.
  • Keputusan politik harus disetujui oleh VOC, yang membuat mereka semakin kehilangan kedaulatan.

4. Meningkatnya Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

  • Petani dan rakyat biasa semakin menderita, karena VOC menerapkan pajak yang lebih tinggi untuk membiayai administrasi mereka.
  • Wilayah Mangkunegaran dan Surakarta tetap berada dalam kontrol ekonomi VOC, yang memastikan bahwa sumber daya Jawa tetap menguntungkan Belanda.

Kesimpulan

Perjanjian Salatiga adalah salah satu contoh nyata bagaimana Belanda menggunakan politik pecah belah untuk mengontrol Jawa. Dengan membagi wilayah Surakarta, mereka berhasil melemahkan kerajaan-kerajaan pribumi dan memastikan bahwa mereka tetap memiliki pengaruh dominan di Jawa.

Meskipun perjanjian ini memberikan Pangeran Sambernyawa wilayah kekuasaannya sendiri, nyatanya Kadipaten Mangkunegaran tetap berada dalam bayang-bayang VOC, tanpa kekuatan politik yang sepenuhnya mandiri.

Peristiwa ini juga menjadi bagian dari rangkaian strategi kolonialisme Belanda di Indonesia, yang terus memecah belah dan mengendalikan kerajaan-kerajaan lokal hingga akhirnya seluruh Nusantara jatuh ke dalam kekuasaan kolonial.

Tragedi mengenaskan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia: Pembantaian Westerling: Kekejaman Tentara Belanda di Sulawesi

Author

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *