Jakarta, studyinca.ac.id – Sebuah ambulans melaju kencang di tengah malam. Di dalamnya, seorang pria paruh baya tak sadarkan diri, tekanan darah anjlok, denyut jantung melemah. Sesampainya di IGD rumah sakit, pintu terbuka, dan petugas Sistem Triase Gawat Darurat langsung bergerak. Dalam waktu kurang dari satu menit, pria itu sudah ditangani tim medis. Tak lama berselang, ambulans lain datang, membawa pasien dengan luka ringan di kaki karena jatuh dari motor.
Apa yang menentukan siapa ditangani dulu?
Itulah sistem triase gawat darurat—prosedur standar yang menentukan prioritas penanganan pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Bukan berdasarkan urutan datang, tapi berdasarkan tingkat kegawatdaruratannya.
Bagi mahasiswa keperawatan dan tenaga medis masa depan, pemahaman mendalam tentang sistem ini bukan lagi opsional. Ini fondasi dasar praktik klinis, terutama di unit-unit kritis seperti IGD, ICU, dan UGD.
Apa Itu Sistem Triase Gawat Darurat dan Bagaimana Ia Bekerja?
Secara etimologis, kata “triase” berasal dari bahasa Prancis “trier”, yang berarti “memilah”. Dalam dunia medis, triase digunakan untuk menyortir pasien berdasarkan prioritas medisnya.
Tiga Kategori Utama Sistem Triase Gawat Darurat (Sistem Warna):
-
Merah (Emergensi):
-
Pasien dalam kondisi mengancam nyawa
-
Butuh penanganan segera
-
Contoh: henti napas, henti jantung, perdarahan hebat, syok berat
-
-
Kuning (Urgensi):
-
Cedera atau kondisi serius tapi tidak langsung mengancam nyawa
-
Masih bisa menunggu dalam jangka waktu tertentu
-
Contoh: patah tulang tertutup, nyeri dada tanpa syok, demam tinggi dengan gangguan kesadaran ringan
-
-
Hijau (Non-Urgensi):
-
Kondisi ringan yang tidak mengancam jiwa
-
Bisa menunggu
-
Contoh: luka ringan, pusing biasa, batuk pilek ringan
-
Ada juga kategori hitam untuk pasien yang sudah meninggal atau tidak memiliki harapan hidup dan fokus pada perawatan paliatif.
Proses Triase di IGD
-
Anamnesis cepat: Dilakukan oleh petugas Sistem Triase Gawat Darurat untuk mengetahui kronologi kejadian dan gejala awal
-
Pemeriksaan vital sign: Tekanan darah, denyut jantung, laju napas, suhu
-
Observasi luka fisik: Terbuka atau tertutup, aktif perdarahan atau tidak
-
Skoring & kode warna: Berdasarkan algoritma, seperti ESI (Emergency Severity Index) atau START (Simple Triage and Rapid Treatment)
-
Distribusi penanganan: Disesuaikan dengan prioritas dan kesiapan tim medis
Mengapa Mahasiswa Perlu Memahami Sistem Triase Sejak Dini?
Bagi mahasiswa keperawatan, kedokteran, atau kebidanan, sistem triase bukan sekadar materi di modul semester awal. Ini adalah alat berpikir klinis yang akan terus digunakan sepanjang karier.
1. Triase = Kemampuan Mengambil Keputusan Cepat
Ketika kamu magang di IGD, kamu akan berhadapan dengan pasien nyata, dalam waktu nyata, dengan risiko nyata. Dalam kondisi seperti ini, keterampilan mengambil keputusan cepat berdasarkan data terbatas sangat dibutuhkan.
2. Triase Melatih Ketelitian Klinis
Kamu harus bisa membedakan antara pasien yang terlihat “tenang”, tapi dalam bahaya laten (misalnya, pendarahan internal), dengan pasien yang tampak “heboh” tapi luka ringan. Ini menuntut:
-
Observasi klinis tajam
-
Empati tapi tetap objektif
-
Komunikasi efektif antar tim
3. Mengurangi Burnout dan Beban Sistem
Dengan triase yang baik, beban tim medis bisa terdistribusi lebih adil. Pasien kritis tertangani, pasien ringan terlayani tanpa membebani resource ICU.
4. Triase Bukan Hanya Fisik, Tapi Juga Psikologis
Pasien atau keluarganya sering tidak terima kalau datang lebih dulu tapi “didahului” oleh pasien lain. Nah, di sinilah kemampuan komunikasi mahasiswa diuji. Kamu harus bisa menjelaskan sistem ini dengan bahasa yang manusiawi, tanpa menimbulkan konflik.
Realita Lapangan: Tantangan dan Dilema Sistem Triase di Indonesia
Mari kita realistis. Meski teori Sistem Triase Gawat Darurat sudah mapan, praktiknya di lapangan seringkali menantang—terutama di rumah sakit daerah atau IGD rujukan padat.
Tantangan Umum:
-
Tenaga medis terbatas, khususnya yang terlatih Sistem Triase Gawat Darurat
-
Sarana penunjang belum ideal, misalnya tidak ada monitor vital sign otomatis
-
Pasien dan keluarga tidak memahami sistem ini, bahkan kadang agresif terhadap petugas
-
Laporan tertulis tidak lengkap, padahal dokumentasi penting untuk audit medis
-
Antrian overload, terutama saat bencana atau wabah
Contoh Kasus:
Tahun 2020, saat pandemi COVID-19, IGD di banyak rumah sakit besar mengalami lonjakan pasien hingga 3x lipat. Petugas triase kewalahan karena harus memilah pasien yang batuk ringan tapi cemas, dengan pasien sesak napas berat yang butuh oksigen segera. Tanpa sistem triase yang disiplin, angka kematian bisa melonjak.
Menurut laporan Tirto.id, pelatihan triase menjadi perhatian utama di sistem bencana nasional. Di banyak daerah, pelatihan triase kini diwajibkan minimal sekali per tahun untuk semua tenaga medis IGD.
Membangun Budaya Triase: Peran Mahasiswa Sebagai Generasi Baru Tenaga Kesehatan
Salah satu dosen saya di fakultas keperawatan pernah berkata, “Satu pasien bisa hidup atau meninggal inca hospital, tergantung keputusan kamu di detik pertama.” Waktu itu saya tidak terlalu paham. Tapi setelah praktek IGD, saya sadar—Sistem Triase Gawat Darurat adalah detik pertama itu.
Peran Mahasiswa:
-
Belajar bukan hanya teori, tapi juga simulasi
Simulasi triase darurat harus jadi bagian tetap dari kurikulum—bukan sekadar demo singkat. Simulasi dengan skenario bencana, kecelakaan massal, atau wabah, membuat mahasiswa terbiasa berpikir cepat. -
Berani mengambil tanggung jawab dalam rotasi klinik
Mahasiswa harus siap “dipercaya” sebagai pengamat triase, lalu secara bertahap menjadi eksekutor awal di bawah pengawasan. -
Mengembangkan aplikasi dan sistem pendukung digital
Mahasiswa teknologi medis bisa kolaborasi dengan keperawatan untuk membuat Sistem Triase Gawat Darurat berbasis mobile, dashboard evaluasi, atau rekaman otomatis. -
Membangun komunikasi publik tentang sistem triase
Ini penting agar masyarakat juga paham bahwa sistem ini ada untuk menyelamatkan, bukan untuk “memihak.”
Edukasi untuk Keluarga Pasien:
Tak jarang, konflik di IGD terjadi karena ketidaktahuan. Maka mahasiswa juga bisa berperan sebagai educator publik—baik melalui sosial media, komunitas kesehatan, maupun forum kampus.
Penutup: Triase Adalah Seni, Sains, dan Tanggung Jawab
Triase bukan hanya soal kecepatan atau akurasi medis. Ia juga soal intuisi, empati, dan integritas profesional. Dalam dunia nyata, kamu tidak akan diberi waktu lama untuk menganalisis, tapi kamu harus tetap membuat keputusan terbaik untuk setiap pasien.
Sebagai mahasiswa, kamu berada di fase emas untuk membentuk refleks dan nilai-nilai ini. Jangan tunggu lulus. Mulai kuasai teknik triase sekarang—dengan belajar, bertanya, dan praktek aktif. Karena bisa jadi, suatu hari nanti, kamu adalah orang pertama yang menentukan apakah nyawa seseorang bisa diselamatkan.
Baca Juga Artikel dari: Program Linear: Solusi Matematika untuk Optimasi Kehidupan Nyata
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Pengetahuan